Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salah Kaprahnya Pemahaman "Tuhan Tidak Perlu Dibela"

4 November 2016   07:51 Diperbarui: 4 November 2016   08:45 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur adalah anak laki-laki pertama dari KH A. Wahid Hasyim, salah seorang pendiri Republik, dan salah satu tokoh penandatangan Piagam Jakarta dimana disitu pernah tertulis kalimat yang cukup mashur bagi perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia yakni kalimat: “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”.

KH. Wahid Hasyim ini adalah putra pertama dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU), dimana pada sekitar tahun 90-an saya pernah berguru menuntut ilmu baik ilmu dunia (Fisika, Kimia, dsb); Akherat (Tafsir, Hadits) hingga ilmu kanuragan yang berbau mistis di sekolah milik keluarga Bani Hasyim tersebut. Tebuireng nama sekolahnya. Saya tidak ingin bercerita tentang Gus Dur ataupun sekolah tempat saya belajar dulu, namun saya ingin mengomentari hujjah atau pendapat yang sering dikutip oleh kelompok sana dalam menyikapi setiap aksi dan tindakan yang dilakukan oleh umat Islam.

Bagi kelompok islam Liberal dan kroni-kroninya kerap mengumbar pernyataan yang berdasarkan pada pendapat Gus Dur bahwa “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Mereka mendasarkan pendapat ini untuk meng-counter aksi dan perjuangan umat Islam dalam menyikapi  suatu isyu atau kejadian yang menyerang Islam. Bagi kelompok Liberal, tindakan dan aksi yang dilakukan oleh umat Islam dalam membela agamanya di kategorikan tindakan intoleran, anti ke-bhinneka-an, dan anti pluralisme. Namun apakah demikian adanya, apakah Tuhan tidak perlu dibela?

Bila saya cermati, kebiasaan yang sudah-sudah terjadi adalah; Adanya penghinaan, penistaan dan pengolok-olokan dari seseorang atau kelompok tertentu kepada umat Islam, dimana perbuatan-perbuatan intoleran itu biasanya berupa pelecehan; Yang pertama kepada Agama Islam secara keselurahan; Yang kedua terhadap pribadi Nabi Muhammmad, SAW. Dan terakhir kepada Al-Quran sebagai kitab suci dan tuntunan hidup umat Islam. Hampir tak pernah saya temukan kelompok atau individu diluar Islam menistakan Allah SWT, atau Tuhannya umat Islam. Tidak pernah. Selalu yang dinistakan adalah salah satu atau ketiga obyek itu.

Aksi damai yang dilakukan umat Islam tanggal 4 November 2016 hari ini sejatinya adalah manifestasi dari perlawanan umat Islam terhadap penistaan yang diduga dilakukan oleh individu itu. Dan menurut saya kemarahan umat Islam yang diimplemtasikan dalam Aksi Damai itu adalah wajar dan manusiawi adanya. Untuk berempati terhadap perjuangan dan aksi damai yang dilakukan umat Islam besok, saya ingin mengambil contoh sederhana yakni bagaimana bila yang dinistakan itu adalah bendera kebangsaan kita, bendera merah putih, sebagai lambang kita dalam berbangsa dan bernegara.

Bila ada individu mengolok-olok bendera kita atau UUD 45 kita sebagai landasan kita bernegara, tentu sebagai warga negara yang berjiwa nasionalis, apalagi bagi tentara, yang pernah merasakan getirnya membela dan mempertahankan kemerdekaan tentu tidak akan menerima dan marah menerima perlakukan seperti itu. Nah, bagimana bila Kitab Suci Al Quran sebagai pedoman hidup umat Islam dilecehkan dan dinistakan, tentu bagi mereka yang benar-benar punya harga diri dan marwah dalam beragama, akan marah dan murka. Kemarahan ini wajar adanya.

Maka, tindakan dan aksi yang dilakukan umat Islam itu adalah sebagai reaksi atas tindakan intoleran yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang tersebut. Tentu reaksi yang dilakukan oleh umat Islam berupa perlawanan. Perlawanan itu diimplementasikan dalam wujud demontrasi, baik yang berakhir damai maupun karena adanya provokator dapat memicu pengrusakan. Pengrusakan ini tentu ekses negatif yang patut disesalkan. Tidak pernah ada reaksi umat Islam berupa perlawanan bersenjata, misalnya. Paling jauh hanya demontrasi, just it.

Begitupun bila yang dihinakan adalah guru mereka, panutan mereka, yakni Nabi Muhammad SAW maka tentu siapapun dari latar belakang budaya dan suku manapun akan bangkit untuk membela junjungannya. Saya rasa ini adalah hal yang manusiwi. Jangan kan seorang nabi, bila Presiden RI kita dihina oleh rakyat atau negara lain, tentu akan memantik emosi dari kita. Sejelek-jeleknya Jokowi, saya akan marah bila ia dinistakan oleh negara lain misalnya. Inilah yang dinamakan bangkitnya nasionalisme seseorang dalam berbangsa.

Tidak peduli suku, bahasa, agama, dan adat istiadatnya, bila presiden RI dilecehkan oleh (maaf, contohnya) Malaysia, misalnya, maka mereka akan bersatu padu melawan Malaysia. Nah, tentu berbeda bila yang dihina dan dilecehkan adalah Muhammad, saw, manusia yang dianggap nabi dan menjadi panutan oleh sebagian penduduk bumi ini, tentu akan ada perlawanan sengit dari para pengikutnya.

Kembali kepada prolog dimuka, bagi saya, pendapat Gus Dur tersebut benar adanya. Buat apa kita repot mengeluarkan energi, pikiran, dan biaya hanya untuk membela Tuhan. Lha wong Tuhan itu Maha Besar. Tuhan itu Maha Perkasa, untuk apa pula Tuhan dibela oleh makhluk kecil yang lemah ini. Bukankah kita makhluk ciptaan Tuhan, untuk apa pula kita membela yang menciptakan kita? Kita serahkan saja semua urusan pada-Nya. Hasbunallah wani’mal wakiil, walaa hawla walaa quwwata illa billah.

Namun, lantaran para pegiat islam liberal ini ngajinya bukan di Tebuireng, dan belum khatam membaca “kitab-kitabnyanya Gus Dur”, maka statemen bahwa Tuhan tidak perlu dibela ini yang salah dimaknai oleh mereka. Mereka kerap berstatemen bahwa lantaran Tuhan tidak perlu dibela, untuk apa pula kita ngotot-ngototan berteriak atas nama Tuhan? Pemikiran inilah yang kerap mereka gunakan untuk melemahkan perjuangan umat Islam. Apakah demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun