Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Memahami Kearifan Lokal: Antara Soekarmen di Bali dan Ahok di Jakarta

28 April 2017   09:11 Diperbarui: 28 April 2017   18:00 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada dasarnya Indonesia adalah negeri yang terbuka, toleran dan menghargai segala perbedaan yang ada. Praktis, sepanjang berdirinya Republik, tak ada kerusuhan dan huru hara yang diakibatkan oleh perbedaan SARA yang terjadi merata di seluruh kawasan di Indonesia dalam skala luas. Kalaupun ada, sifatnya hanya kerusuhan lokal, dan mampu segera diredakan dengan pendekatan yang dinamakan kearifan lokal. Itulah sebabnya jauh sebelum Negara ini resmi berdiri, semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah dipatrikan oleh para founding father sebagai slogan yang dilekatkan pada kaki burung Garuda. Mereka menyadari bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, dan ras, dan itu tidak bisa dihilangkan atau diseragamkan. Keberagaman adalah takdir Indonesia itu sendiri.

Berbicara tentang kepemimpinan di Indonesia, kita tak mengenal kepemimpinan yang diwariskan, atau kepemimpinan yang telah di ‘jatahkan’ untuk etnis atau golongan tertentu. Semua warga Negara berhak menjadi pemimpin. Oleh karenanya, tak menjadi soal siapapun yang menjadi pemimpin di suatu wilayah, sepanjang yang bersangkutan mempunyai kemampuan leadership, bertingkah dan berprilaku santun, sopan, menghormati dan menghargai kearifan dan budaya lokal, maka ia akan diterima dengan baik oleh warga setempat. 

Mau bukti? Bali misalnya, sebagai wilayah yang mayoritas hampir 100% dihuni oleh warga beragama Hindu, pada tahun 70-an, bisa dengan damai menerima kepemimpinan Bapak Soekarmen sebagai gubernur mereka, meskipun beliau adalah seorang Muslim dan bukan orang asli Bali. Saat kepemimpinannya berlangsung, tak ada gejolak dan polemik yang terjadi di Bali. Segalanya berlangsung damai, aman, dan tentram. Begitupun dengan Aceh, Papua, NTT, Sulawesi Utara dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Mereka menerima dengan baik kepemimpinan seseorang yang bukan berasal dari etnis ataupun kepercayaan yang sama dengan mereka.

Demikian pula dengan Jakarta, jauh sebelum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ber-etnis Tionghoa dan beragama Kristen menjabat Gubernur, Jakarta telah dipimpin oleh putra Manado yang juga beragama Kristen. Dalam catatan sejarah, tak pernah ada penolakan terhadap figure Henk Ngantung, meskipun ia menganut kepercayaan berbeda dengan mayoritas warga Jakarta. Betawi, sebagai etnis asli Jakarta welcome terhadapnya. Lalu, bagaimana dengan Ahok? 

Tidak seperti Soekarmen di Bali, yang stabil tanpa gejolak, kepemimpinan Ahok tidak berjalan mulus, ia mendapat penolakan dari sebagian warga Jakarta, utamanya etnis Betawi. Mengapa hal ini terjadi? Apakah penolakan ini murni masalah perbedaan agama yang dianut oleh sang gubernur dan warganya? Tampaknya tidak demikian halnya.

Dari berbagai analisa yang disampaikan oleh beberapa lembaga survey, faktor dominan kekalahan Ahok dalam Pilkada 19 April lalu adalah ketakutan warga Jakarta terhadap figur Ahok itu sendiri. Ketakutan-ketakutan ini dapat berupa: Takut di gusur. Ketakutan akan digusur dari tempat tinggalnya; Ketakutan di gusur tempat usahanya; Takut di larang. Larangan-larangan yang mengekang terhadap hajat yang bersentuhan dengan rakyat kecil, seperti wacana larangan sepeda motor melintasi jalan Sudirman-Thamrin, misalnya, ataupun kebijakan-kebijakan lainnya yang justru pro kalangan menengah atas, bukan kepada rakyat kecil.

Disamping itu, Ahok lemah secara leadership. Ia tidak mempunyai kemampuan leadership yang mumpuni. Sebagai pemimpin, ia tidak mengayomi seluruh warga sebaliknya justru menebar ketakutan dan intimidasi kepada warganya. Banyak statemen dan kebijakan gubernur yang justru kontra produktif untuk merangkul masyarakat. Larangan takbir keliling; Larangan ber-sholawat di Monas; Larangan pemotongan hewan qurban di sekolah, misalnya, adalah sebagian contoh nyata bagaimana gubernur tidak sensitif terhadap keadaan dan budaya dari warga asli yang ia pimpin (Betawi). 

Dari situlah muncul bibit-bibit ketidakpercayaan kepada kepemimpinan gubernur. Ia melupakan dan mengabaikan kearifan lokal dari bangsa Indonesia umumnya dan etnis Betawi pada khususnya. Meminjam istilah kasar yang diucapkan oleh sesepuh masyarakat Betawi Bapak Eddy Marzuki Nalapraya; “Bacot loe jaga! Yang merefleksikan ungkapan kekesalan warga Betawi terhadap langkah dan ucapan yang sering dikemukakan oleh Ahok.

Ahok tampaknya tak menyadari bahwa ia adalah minoritas. Ia terlalu jumawa dan sombong. Ia tidak menjaga budi pekertinya. Dulu, sewaktu mahasiswa, dalam berbagai kesempatan memimpin atau me-moderatori rapat, diskusi atau berdialog dengan para rekan-rekan saya calon pemimpin bangsa, sering saya utarakan kepada mereka bahwa: “Yang merasa mayoritas JANGAN sombong dan jumawa! Sedangkan yang minoritas, HARUS tahu diri!’ Bila teori saya ini diterapkan, maka tak mustahil kepemimpinan Ahok akan di nilai oleh seluruh warga Jakarta dengan khusnul khotimah, berakhir baik. Ia akan selalu dikenang oleh warga Jakarta seperti mereka mengenang Ali Sadikin (Bang Ali) sebagai Bapak Pembangunan Jakarta.

Paska Pilkada dimana warga Jakarta telah memutuskan vonisnya dengan menarik mandat Ahok dan menyerahkannya kepada pasangan Anies-Sandi, marilah kita akhiri gonjang ganjing dan hiruk pikuk yang terjadi di Jakarta. Suka atau tidak, cukuplah figur dan kepribadian Ahok, dengan segala plus minus-nya menjadi pembelajaran bagi kita semua dan mereka yang ingin menjadi pemimpin, bahwa jangan sekali-kali mengabaikan kearifan lokal dalam suatu wilayah. Selalu ingat mantra lama yang masih terbukti keampuhannya, yakni: “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung.” Mari gandeng tangan menata Jakarta dan Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun