Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Karena "TL" Pejabat Pun Bisa Senewen (Kisah Tentang TL)

4 Desember 2015   14:26 Diperbarui: 4 Desember 2015   14:34 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Mas, besok kita stand by di Jalan Matraman ya. Tuh, disposisnya dimeja Mas Rachmat.” ujar atasanku, acuh tak acuh. “Waduhhh.. bakalan gak balik ke rumah lagi neh,” batinku. Padahal sudah 3 (tiga) hari ini saya absen menyapa anak-anak saban malam lantaran memenuhi panggilan tugas Negara, (lebay)

Menerima disposisi bertuliskan TL, bagi kami yang bekerja di pemerintahan bermakna perintah tersebut harus di-TindakLanjuti, dalam pengertian tidak bisa ditawar tawar dan harus dilaksanakan sesegera dan serapih mungkin!! Disposisi TL hukumnya wajib dilaksanakan, tidak boleh tidak. Harus!. Akibatnya, TL bagai momok yang menakutkan dan menyeramkan. Bila TL telah terbaca, alamat gak bisa nyantai, gak bisa leha-leha dan dipaksa kerja melebihi panggilan tugas.

Terlebih kalau TL itu sesuatu yang di luar kebiasaan atau keluar dari pakem rutinitas kerja harian kita. Ibaratnya, dengan TL, hidup bisa jadi senewen. Coba bayangkan, --bagi mereka--, staf yang biasa nyantai dalam bekerja, tentu punya beban tersendiri untuk mengerjakan suatu tugas. Boro-boro men-TL perintah atasan, lha mengerjakan pekerjaan rutin saja sering malasnya yang muncul ketimbang rajinnya. Tugas kerja sering di “ntar sok ntar sok”, alias nanti atau esok saja, baru dikerjakan. Tidak jarang diantara mereka mendelegasikan pekerjaan rutinnya kepada rekannya yang rajin atau komit dalam bekerja.

TL bisa diterjemahkan juga bahwa masalah atau problem harus segera diselesaikan secepat mungkin. Misalkan saja ada aduan warga masyarakat tentang keberadaan café atau hiburan malam di suatu wilayah. Warga mengadu dengan bersurat ke Gubernur atau Walikota. Nah bila warga bersurat ke Walikota, misalnya, maka sang Wali akan mencentreng di kolom TL ke pejabat dibawahnya, bisa Wakil Walikota ataupun Sekretaris Kota (Sekko). Sekko akan ber TL juga kepada Camat setempat. Camat akan ber TL dan berkoordinasi dengan Lurah setempat. Nah, kita sebagai pejabat lapis bawah atau staf penerima TL harus turun dan menyelesaikan aduan warga tersebut ke pihak-pihak terkait atawa para stakeholder, sehingga adanya ekses negatif keberadaan café dapat terselesaikan dengan baik antara warga dan pengusaha.

Entah mengapa dalam lembar disposisi tertera kolom TL. Kenapa tidak HK (Harus diKerjakan) ataupun istilah lainnya yang lebih tegas dan nyeremin. Nah, lantaran ada kolom TL maka dalam menjawab surat balasan, biasanya di kalimat pembuka akan tertulis; Menindak lanjuti surat dari Kementerian Luar Negeri Nomor xxx/xx/xx tertanggal xx perihal bla bla bla, maka kami bla bla bla…

TL juga bermakna harus diproses. Artinya, isi dan maksud surat harus diproses dan dikerjakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalkan saja, ada usulan pengajuan dana hibah, lalu tercentrang TL, maka si penerima disposisi akan menindaklanjutinya dengan memproses sesuai peraturan yang berlaku, jangan menyimpang. Jika kita memprosesnya dengan serampangan, maka bersiaplah akan menjadi “temuan” pemeriksa, dalam hal ini, bisa inspektorat ataupun BPK. Ujung-ujungnya tentu mimpi buruk yang berkepanjangan..

Selain TL, tentu ada perintah atau arahan lainnya yang bisa di centrang atau di tulis oleh pejabat. Biasanya pada kertas disposisi ada kolom yang tertulis: Simpan; Bicarakan Lebih Lanjut; Untuk Menjadi Perhatian (UMP); dsb. Sering, saking banyaknya surat yang masuk ke meja sang pejabat, si pejabat –lantaran malas atau memang yang ada dibenaknya segala surat harus di TL— dengan seenaknya saja mencentrang TL. Ini pernah saya lihat dan memang sering juga saya perhatikan si pejabat dalam memberikan disposisi kadang tidak dibaca dengan seksama bagaimana isi surat yang berasal dari suatu instansi itu, apakah penting atau tidak isinya, melainkan hanya dilihat secara sekilas, lalu dengan cekatannya  langsung di centrang di kolom TL, diparaf, dan biasanya ditambahi dengan kalimat “sesuai dengan peraturan” atau “Lapor!”

Tidak jarang saking banyaknya beban dan tugas kerja seorang staf di suatu bagian, Tindak Lanjut atau TL sering diplesetkan menjadi Taruh di Laci alias tidak dikerjakan. Simple kan. Taruh aja di laci, kan sudah di TL, hehe.. Ya, permasalahan TL memang membuat kepala puyeng, perasaan bête ataupun nyebelin. Bayangkan saja, saat banyak kerjaan, lalu ujug-ujug ada perintah untuk mengikuti suatu kegiatan atau mengerjakan suatu tugas dan beban kerja lainnya. Padahal kerjaan yang satu saja belum kelar, ehh muncul kerjaan baru.

Nah, disinilah pintar-pintarnya staf atau pegawai untuk memilah dan memilih mana disposisi yang sekiranya urgent untuk segera dilaksanakan alias di TL atau di tindaklanjuti dan mana yang –kalau perlu-- harus di ‘TL’ atau di Taruh di Laci. Contoh kasus, ada undangan dari kementrian X untuk hadir di acara sosialisasi bla bla bla.. Atasan mendisposisikan TL. Maka kita selaku staf, bisa saja men ‘TL’ kan itu lantaran kita sudah tahu apa dan bagaimana acara tersebut. Urgensinya bagi lembaga kita, penting atau tidaknya untuk kita hadiri. Walhasil, dalam waktu yang sama, lebih urgent mengerjakan tugas atau kegiatan A ketimbang hadir di acara kementerian tersebut.

Namun, tidak semua staf dan pegawai cerdik menyikapi TL. Ada pula mereka yang TL oriented, dalam artian membabi buta dalam menterjemahkan TL.  Akibatnya, si staf kadang terjebak dalam posisi serba salah. Mau dikerjakan, tapi isi suratnya gak penting-penting amat, sedangkan pekerjaan lain banyak yang lebih urgent, namun bila diabaikan akan ada perasaan bersalah. Dilematis memang.

TL memang kejam. Banyak pejabat pada level eselon bawah terkena kasus gara-gara masalah TL ini. Mereka menjalankan perintah atasan dengan mengabaikan aturan dan peraturan yang harus dipedomani dalam per-TL-an tersebut. Singkatnya, mereka men-TL-kan suatu urusan atau program dengan melabrak aturan yang seharusnya menjadi pedoman dan dasar dalam bertindak. Contohnya ada usulan pengadaan suatu barang. Si Pejabat memberikan TL kepada pejabat bawahannya. Nah, (pejabat) bawahan ini melaksanakan disposisi sang (pejabat) atasan tanpa mengindahkan aturan yang berlaku, akibatnya, kalau ada temuan atau kasus, maka yang dipanggil dan mondar-mandir ke pemeriksa atau aparat penegak hukum biasanya pejabat model begini. Si pejabat yang diatas terhindar karena ia mendisposisikannya dengan benar yakni TL Sesuai Ketentuan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun