Orang yang tidak terlalu dekat dengan beliau banyak yang salah dalam mengartikan makna 2 (dua) hurup dibelakang namanya. Kebanyakan mereka, tanpa cek dan ricek kepada kerabat dan kroni-nya menulis atau mengartikan kepanjangan “MZ” dengan “Muhammad Zein”. Para juru warta pun 11, 12. Entah dari mana mereka mendapatkan sumbernya. Misalkan saja, saat menulis tentang wafatnya lelaki kelahiran 2 Maret 1952 ini, para wartawan tanpa konfirmasi ulang melabelkan MZ dengan penyebutan yang seragam yakni “Muhammad Zein”. Lantas, betulkah demikian??
Lahir sebagai pasangan dari Turmudzi dan Zainabun, bocah kecil ini sejak dari orok memang selalu ingin tampil di muka. Ketika ada kesempatan dimana banyak orang bertamu ke rumahnya, sontak si Udin kecil, ---menurut penuturan ayah penulis--, kerap naik ke meja berkoar-koar seperti orator yang sedang berpidato. Saat ditanya apa cita-citanya, dengan lugas ia menyahut: “Udin mau jadi garong.” Garong? Macam mana pula kalimat ini bisa terlintas di benak anak yang belum makan bangku sekolahan. Rupanya, zaman dulu masih marak terjadi garong, begal dan perampokan di kampung-kampung betawi. Waktu itu masih kental dengan aroma dan aura revolusi, zaman masih rada susah. Nah, Saking girangnya Turmudji, pemuda kampung Gandaria yang sehari-harinya kerja di PLN memperoleh anak, maka disematkanlah nama Zainuddin Hamidi kepada anak lelaki satu-satunya. Si Udin menjadi anak satu-satunya, lantaran ia tak berumur panjang hingga tak bisa menyaksikan keberhasilan dan ‘kebesaran’ penerus silsilah keluarga klan Turmudzi. Tuhan mengambilnya saat si Udin baru belajar ngomong. Sejak itu ia menjadi yatim, lalu tak berapa lama, karena masih muda usia, sang ibu pun menikah dengan pria lain.
Lantas, bila nama Zainuddin Hamidi tidak terkenal ketimbang Zainuddin MZ, tentu ada sebabnya. Hidup sebagai yatim tentu menjadi beban tersendiri baginya yang jauh dari belaian kasih sayang dan didikan langsung dari sang ayah kandung. Jika pergi bermain ‘keluar’ kampung, orang sering bertanya, “Anak siapa loe tong*?” tentu yang dimaksud adalah bapak loe siapa? Ini lantaran orang betawi menganut mazhab patrilineal, dimana keturunan sang anak dinasabkan ke sang ayah. Maka dalam panggilan sehari-hari nama belakang (yang tidak merujuk nama ayah) sering gak kepake, yang dipanggil adalah nama depan si anak lalu disusul dengan nama sang ayah.
“Siapa tuh anak yang bangor*”? Tanya tetangga yang terusik tidur siangnya lantaran suara berisik si Udin saat bermain.
“Itu si Udin anaknya Turmudzi,” jawab tetangga sebelah.
“Ooh Si Udin Turmudzi’ sahut yang lainnya.
Akhirnya lama kelamaan yang terkenal si Zainuddin Turmuzi alias si Udin anaknya Turmudzi. Setelah si Udin dewasa, maka untuk lebih bekennya ditulislah oleh si Udin, namanya, menjadi Zainuddin MZ alias Zainuddin turMudZi. Rupanya saat itu Zainuddin sudah tahu makna positioning dan membangun brand image. Maklum saja, nama Zainuddin di deretan nama-nama orang Jakarta sangat pasaran, lihat: http://www.kompasiana.com/rachmatpapinerazijed/mengapa-orang-rusia-namanya-berakhiran-huruf-v_565e96d6527a61031251e639 Lalu untuk membedakannya dengan cerdik si Udin menambahkan dua hurup menjadi Zainuddin MZ, tak beda dengan Qori International yang terkenal pada masa itu, Muammar ZA (Zainal Asyikin).
Mulai menjadi pesohor dan dikenal orang saat kaset-kaset rekaman ceramahnya laris di pasaran. Waktu itu tahun 80-an, Selain Muammar ZA, Qori internasional tentunya, tak banyak dai yang bisa tembus ke dapur rekaman. Gaya bicaranya runtut, mudah dicerna dan akrab dengan romantika kehidupan masyarakat marginal pada umumnya. Alm. KH. Idham Chalid, mantan Ketua MPR RI, sang guru Zainuddin MZ saat belajar di tingkat Tsanawiyah/Aliyah (setingkat SMP/SMA) pernah mengisahkan bahwa si Udin pintar ngebanyol dan ngedongeng. Beliau sangat bangga mempunyai murid Zainuddin. Ia mampu membawa harum nama perguruan Darul Maarif. Saking terkenalnya di sekolah, lantaran pintar dan jago ngomong, si Udin di daulat menjadi Ketua Pelajar (semacam OSIS) di Darul Maarif.
Saat usianya belum genap 20 tahun, ia sudah di tanggap oleh warga sekitar Darul Maarif (Cipete, Cilandak dan Gandaria) untuk mengisi khutbah Jum’at dan ceramah keagamaan. Gaya bahasaya mudah dipahami masyarakat, komunikatif dan tak lepas dari sense of humor. Spontanitasnya dalam melempar banyolan-banyolan berisi dan cerdas, juga kritik yang ‘mengena’ tanpa yang dikritik merasa tersakiti menjadi kelebihannya dalam berpidato.
Misalkan saja istilah Hardolin; Dahar, modol, ulin, (makan, ber*k, jalan-jalan) tatkala ia me-labelkan orang yang tiap hari kerjaannya hanya makan minum saja tanpa berbuat hal-hal positif dalam hidupnya. Atau tentang pergaulan muda-mudi zaman sekarang yang terlalu bebas; “Iya kalo sepatu disedengin gak pa pa, lha anak perawan orang disedengin ya berabe urusannya..”
Tahun 90-an saat masa keemasannya, ia mampu menyihir seluruh audiensi yang ada di stadion sepakbola, alun-alun terbuka, lapangan besar, bahkan Stadion Utama Senayan untuk diam tanpa suara menyimak isi ceramahnya. Bayangkan, satu stadion utama dan alun-alun penuh dengan ratusan ribu orang mampu ia sihir hanya untuk mendengar untaian kata-katanya. Ratusan ribu orang itu diam, senyap tanpa suara dan kadang tertawa saat ia tampil di mimbar. Hingga kini, belum ada orang yang sanggup melakukan itu selain Bung Karno. Ada aura dan langgam yang tidak dapat ditiru oleh orang lain, meski oleh putranya sekalipun.