Selama saya mengunjungi perpustakaan, hampir dapat dipastikan bahwa sebagaian besar pengunjung perpustakaan adalah para mahasiswa/pelajar ataupun para kaum 'jomblo' yang mengisi waktunya dengan membaca. Jarang saya jumpai di dalamnya ibu-ibu atau istilah ngetrend-nya "Mahmud" atawa mamah muda, misalnya, yang mengisi hari-harinya sembari mengampu anaknya di perpustakaan.
Lalu, apakah fungsi perpustakaan diperuntukkan hanya untuk para dosen peneliti, mahasiswa/pelajar atau kaum 'pengangguran' terdidik di mana mereka mempunyai banyak waktu untuk membaca? Rasanya terlalu sayang bila gedung mewah nan megah perpustakaan dibangun dan berfungsi hanya untuk mereka semata.
Di satu sisi, kebiasaan membaca belum tertanam secara kokoh dalam budaya masyarakat Indonesia. Anak-anak kita lebih asyik ber-gadget ketimbang memegang buku. Agak sulit menanamkan kepada mereka agar menjadikan buku sebagai teman, dan membaca sebagai sebuah hobby yang mengasyikkan. Karena, bila membaca sudah menjadi hobby, maka buku apapun yang ada di rumah pasti dibacanya.Â
Sayangnya, tidak semua referensi dan sumber bacaan dapat ditemukan di rumah maupun di sekolah, melainkan hanya ada di perpustakaan. Perpustakaan dengan beragam koleksi buku adalah tempat yang tepat untuk 'berselanjar' menambah pengetahuan kita. Lalu bagaimana kita mengenalkan kepada anak-anak tentang perpustakaan sebagai pusat dari beragam buku dan informasi yang tersedia?
Definisi perpustakaan itu sendiri adalah mencakup suatu ruangan, bagian dari gedung/bangunan atau gedung tersendiri yang berisi buku-buku koleksi, yang diatur dan disusun demikian rupa, sehingga mudah untuk dicari dan dipergunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh pembaca (Sutarno NS, 2006:11).Â
Bila merujuk pada definisi tersebut, inilah model perpustakaan jadul dan kuno yang sering dan banyak kita jumpai, di mana perpustakaan hanya berisi kumpulan rak-rak buku dengan meja dan kursi baca. Sebaiknya, lebih dari itu. Perlu ada revolusi dalam konsep penataan perpustakaan agar perpustakaan dapat dinikmati oleh beragam kalangan dari beragam usia, mulai anak-anak hingga manula. Ini merupakan tantangan dan peluang bagi para insan pustakawan untuk men-create suatu perpustakaan yang disukai oleh anak. Men-design perpustakaan yang ramah untuk anak.
Bila ia membawa dan mengajak serta anaknya ke perpustakaan, di jamin si anak hanya akan tenang selama 5 menit. Selanjutnya tentu mereka akan uring-uringan, tidak nyaman dan merengek minta keluar untuk bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Tumbuh dan kembang mereka diwarnai dengan keceriaan, kebahagiaan dalam suasana permainan.
Lalu bagaimana agar perpustakaan itu ramah bagi anak? Alangkah idealnya bila di perpustakaan itu disediakan space dan ruang baca sekaligus ruang bermain bagi anak. Di samping orang tua dapat tenang membaca, anak anak mereka pun dapat bermain sekaligus belajar. Mereka dapat melihat gambar-gambar menarik dalam buku dan (jika bisa) membaca isi buku.