Awalnya adalah surat dari Ikatan Keluarga Nasution kepada Walikota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi yang meminta agar ruas jalan mulai dari Terusan Rasuna Said hingga memanjang terus ke selatan, seperti yang kita kenal dengan nama Jl. Mampang Prapatan dan Jl. Warung Buncit, Jakarta selatan, diganti dengan nama Jalan Jenderal Besar AH Nasution. Oleh Tri, surat usulan itu diteruskan kepada Gubernur Anies Baswedan, mengingat kewenangan pergantian nama jalan berada di level provinsi (Gubernur dan DPRD). Sayangnya sebelum Gubernur dan DPRD sepakat, sosialisasi telah digeber. Lalu muncullah pro dan kontra dalam masyarakat.
Upaya untuk menghargai jasa para pahlawan tentu patut diapresiasi. Salah satu pengingatnya adalah dengan penamaan jalan. Ali Sadikin (Bang Ali) misalnya, sebagai gubernur legendaris di Jakarta, meskipun yang bersangkutan belum ditetapkan sebagai pahlawan, namun jasa dan kontribusinya terhadap kemajan kota Jakarta sangat besar. Beliau lah peletak dasar pembangunan dan kemajuan Jakarta. Oleh sebagian kalangan, Bang Ali, pernah diusulkan untuk diabadikan namanya sebagai jalan di Jakarta. Cari punya cari, ketemulah Jalan yang cocok, lokasinya dekat dengan Balakikota, bekas kantornya. Jalan yang membentang dari mulai Tugu Tani hingga Tanah Abang ini dinominasikan sebagai jalan Ali Sadikin menggantikan Jl. Kebon Sirih. Sayangnya, seiring berjalannya waktu usulan itu menguap.
Kini, tanpa ada angin dan petir, usulan untuk mengganti nama jalan di Jakarta kembali mencuat. Permasalahannya adalah apakah penamaan jalan dengan salah satu tokoh (pahlawan) itu harus mengganti nama jalan yang telah ada, yang telah mempunyai nilai histroris, dan melegenda di kalangan masyarakat Jakarta? Inilah permasalahnya.
Sebagai kota pelabuhan, Jakarta kaya akan warisan sejarah. Beragam suku bangsa bermukim diwilayah seluas 661,5 Km2 ini. Untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat, biasanya penamaan jalan di Jakarta terkait dengan peristiwa, tokoh, etnis/suku, ataupun geografis daerah itu. Di Jakarta kita mengenal Jalan Kampung Melayu, untuk melabelkan nama etnis yang banyak menetap di kawasan itu. Jl. Warung Buncit misalnya, dulunya disitu ada warung kepunyaan Bu Encit (etnis tionghoa). Warungnya, kalau meminjam istilah zaman now digunakan sebagai tempat hang out (ngumpul), untuk tempat transit dan kongkow-kongkow para pejalan dan pedagang yang melintasi ruas dari Pasar Minggu menuju ke tengah kota. Oleh masyarakat setempat, ruas itu dinamakan Warung Buncit. Begitupun Jl. Mampang (nama jenis pohon) Prapatan Raya dan Kemang Raya, di Jakarta Selatan. Dulunya banyak pohon Kemang (sejenis mangga) yang berserakan di sepanjang jalan mulai dari Antasari hingga Ampera Raya.
Nah, mengingat Jakarta sebagai kota yang punya nilai sejarah tinggi, maka wacana pergantian nama jalan itu harus dikaji secara mendalam. Boleh saja merubah nama jalan, namun dengan pertimbangan dan kajian yang melibatkan beberapa stakeholder, budayawan, dan tokoh masyarakat Betawi. (Maaf), jangan mentang-mentang (meminjam isilah Betawi) Buncit dan Mampang bukan seorang pahlawan, dan hanya sekadar nama bekas toko, nama buah, atau pohon, lalu dengan serta merta gampang menggantinya, semudah kita mengganti celana. Ingat, kawasan itu punya sejarah. Merubahnya berarti merubah sejarah. Â Jadi, kalau mau merubah, ya, lihat-lihat dulu, oom.
Sebenarnya, bila kita mau capek sedikit menelisik jalan-jalan di Jakarta, banyak jalan-jalan di Jakarta yang rancu dan membingungkan warganya. Mau contoh? Seruas jalan di depan Stasiun Jatinegara, misalnya, dinamakan Jalan Bekasi Barat. Bagi orang luar Jakarta yang baru datang atau turun dari kereta, tentu bertanya-tanya, dimana Bekasinya? Padahal Bekasi masih sekitar 30-an kilo ke arah timur dari Jatinegara. Berbatasan dengan jalan itu, bukan masuk kota/Kabupaten Bekasi, namun ada jalan Bekasi Timur, lalu (ujug-ujug) ada jalan bernama I Gusti Ngurah Rai, mulai dari Cipinang/Klender hingga masuk ke perbatasan Bekasi. Tak hanya itu, jalan dengan penamaan "Bekasi" pun tak cuma di sekitar Jatinegara, ada banyak! Di kawasan Pulogadung hingga masuk ke Cakung, ada Jalan Raya Bekasi. Jalannya sangat panjang, mulai dari Perintis Kemerdekaan hingga berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Adapula jalan Raya Bekasi Timur, mulai dari Flyover Klender hingga Terminal Pulogadung.
Saking rancunya nama "Bekasi", bila berkorespondensi maka harus lengkap mencantumkan keterangan wilayah/kawasan setelah kata "Bekasi". Bekasi mana? Bekasi Jatinegara, Bekasi Klender, Bekasi Cakung, atau Bekasi Pulo Gadung? Jadi, bila mau dirubah, inilah salah satu contoh nama jalan yang harus ditata dan ditertibkan agar tak membingungkan warga.
Begitupun Jalan Raya Bogor. Jalan yang bermula dari PGC di Cililitan ini sangat panjang melintasi Kramat Jati, Pasar Rebo, Cijantung, lalu masuk ke wilayah Depok, Cibinong, hingga ke kota Bogor. Jalan ini memang jalan yang bernilai historis. Inilah jalan pertama yang dibangun di pulau Jawa. Dulu dinamakan jalan Pos atau Jalan Deandels. Bila kita berniat mengganti jalan ini, tentu akan mempunyai konsekwensi sejarah. Namun bila dirasa jalan itu membingungkan lantaran panjangnya, bisa saja jalan itu dirubah dengan nama pahlawan, dimulai dari PGC hingga Pertigaan Pasar Induk Kramat Jati, misalnya. Agar akar sejarah tidak hilang, selebihnya tetap dinamakan jalan Raya Bogor.
Jakarta memang berbeda dengan Washington DC. Di DC, hanya jalan-jalan besar (avenue) yang memakai nama tokoh atau kota tertentu. Disana kita akan menemukan jalan Pennsylvania. Nah, nama jalan lainnya diatur berdasarkan hurup seperti A, B, C, dst, ataupun berupa angka seperti jalan 1, jalan 2, 3, dst yang merujuk kepada petunjuk dari satu blok berpindah ke blok sebelah atau blok lainnya. Jalan dibagi/belah menjadi blok dan sektor. Misalkan saja namanya: Jalan 1SW, artinya jalan 1 dalam sektor South West. Maka tentu di blok berikutnya jalan 2SW, begitu seterusnya. Blok pun demikian. Bila di depan kita jalan Blok A, tentu setelahnya jalan Blok B, C, D berurutan dalam jejeran blok yang memancang. Sebagai orang baru, tentu kita tak akan menyasar selama jalan-jalan (kaki) di ibukota Amerika Serikat itu.
Kedepan, tampaknya kita memang harus duduk satu meja untuk merumuskan dan mengkaji ulang penamaan jalan-jalan di Jakarta. Jangan sampai terjadi jalan yang membingungkan tetap dipertahankan, dan sebaliknya jalan yang punya nilai historis dan legenda menjadi hilang. Amerika besar karena sejarahnya, kitapun ingin besar karena tak melupakan sejarah kita.
-Rachmat Hamdani-