Tak hanya para mafioso di Italia sana yang lazim mencium tangan sebagai tanda tunduk, hormat dan pemasrahan diri pada para godfather atau pelindungnya, dalam masyarakat muslim di Indonesia, kebiasaan cium tangan ini sudah menjadi adat atau kelaziman yang banyak kita jumpai dalam keluarga. Biasanya, cium tangan kerap dilakukan oleh orang muda kepada yang paling tua. Anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya, istri kepada suaminya, dan bahkan yang lebih 'gila' lagi, bawahan kepada atasannya. Cium tangan ini sebagai wujud tanda bakti, penghormatan, kepasrahan dan penyerahan diri dari yang mencium tangan kepada yang diciumi tangannya.
Dari kecil, oleh orang tua, saya diajarkan untuk mencium tangan kepada para ncang, ncing, dan kerabat keluarga orang tua saya, terlebih kepada guru-guru yang mengajar saya di sekolah. Ciuman di telapak tangan yang diajarkan oleh orang tua saya tentu berbeda dengan ciuman tangan anak milenialzaman sekarang. Anak zaman sekarang kebanyakan meletakkan tangan orang yang diciumnya di dahi, atau dipipinya. Jarang yang meletakkan tangan di hidungnya, seperti waktu saya kecil dulu.
Cara dan gaya cium tangan ini tampaknya telah berubah mengikuti mode dan perkembangan zaman. Anak zaman sekarang tak lagi diajarkan bagaimana mencium tangan dengan sempurna. Memang, tak ada aturan baku (manner) dalam tata cara mencium tangan. Cium tangan yang sering saya lakukan ke orang tua atau guru saya tentu berbeda dengan cium tangan gaya mafioso Italia, ataupun cara cium tangan para pembesar (pangeran) dari Eropa terhadap tuan putri-nya.
Itulah yang terjadi. Setelah hampir lebih dari seperempat abad tak bersua dan mencium tangannya, barulah pada Ahad, 08 Oktober 2017, kemarin, tanganku kembali dapat mencium tangannya. Ada getaran dan aura berbeda yang kurasakan, namun getaran dan wangi tangannya itu masih sama saat pertama kali saya mencium tangannya sekitar pertengahan tahun 1988. Meski genggaman tangannya tak sekeras dulu, namun kelembutan tangannya masih kurasakan. Tak banyak yang berubah dari menantu KH. Abdul Manaf Mukhayar ini. Meski bicaranya pelan dan tak selantang dulu, namun logat Cirebon-nya masih tampak kental terdengar di telingaku saat kami duduk bersanding berdua.
Meski saya dan teman-teman semasa tiga tahun awal pertama di Darunnajah tak pernah sekalipun diajar di kelas oleh beliau, namun kehadirannya dalam meng-imami shalat kami, lima kali dalam sehari, sudah cukup dan sangat besar efeknya dalam menguatkan mental belajar kami. Kehadiran Kyai jebolan Pondok Gontor ini semacam pelecut dan penambah spirit kami dalam mengarungi kehidupan. Asal tahu saja, tak banyak Kyai pimpinan pondok pesantren yang sanggup mengimami para santri-nya lima kali dalam sehari alias total full mengelola dan mengasuh santri-santrinya, even pesantren besar sekelas Tebuireng dan Gontor sekalipun.
Begitulah. Selepas 'pergi' di tahun 1991, lantaran tak kuat dengan gigitan bangsat di Pesantren, saya tak pernah sekalipun mencium kembali tangannya. Rada malu juga tatkala saya berucap di dekat telinganya bahwa ini adalah pertemuan kembali saya dan ayah setelah seperempat abad lebih. Ayah berkata lirih: "Kenapa tak main ke pondok dan bertemu ustaz (ayah)?"
Jlebb.. jawaban yang menohok sekaligus membuat diri ini terasa malu didepannya. Ya, meski saya pernah beberapa kali menyambangi pesantrennya, namun untuk bertemu "Sang Ayah" rasanya malu dan sungkan. Apalah artinya saya yang waktu itu masih remaja, masih begajulan. Maqom beliau terlalu tinggi untuk ditemui, padahal ia selalu membuka diri dan mudah ditemui oleh siapa saja, apalagi oleh santrinya sendiri. Maafkan saya ayah yang tak mau menemui ayah sewaktu kunjungan ke pondok.
Oh ya, dulu kami memanggilnya dengan sebutan Kyai Mahrus, sapaan hangat dari KH. Mahrus Amin. Dan, entah sejak kapan pangilan "Kyai Mahrus" berubah menjadi ayah. Panggilan "ayah' ini dibiasakan dan dibahasakan oleh temen-teman saya yang lebih dekat dengan beliau ketimbang saya. Saya pun awalnya agak kikuk memanggilnya ayah. Namun tatkala saya mendengar teman-teman memanggil ayah kelahiran 14 Februari 1940 ini dengan panggilan sayang ayah, saya pun ikut. Ya, mungkin lantaran kami para santri yang sudah lulus lebih menganggap beliau ini selayaknya ayah kami. Kecuali ayah dalam nasab (biologis), KH. Mahrus Amin adalah ayah dalam segala hal. Mulai dari tempat mengadu, berkeluh kesah, dimintai nasehat, wejangan, sampai tempat kami menumpahkan emosi kami padanya. Suka, duka, sedih, dan gembira.
Maka seperti kepada orang tua dan guru-guru saya yang lainnya, begitupun yang Anda lihat dalam foto yang saya tampilkan, itulah bukti penyerahan diri saya pada figur yang saya hormati, Ayah Mahrus. Lantas, sebagai tanda hormat dan cinta kasih anda, sudahkah anda mencium tangan ayah, bunda, dan orang-orang terkasih di sekeliling anda??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H