Tentu kadar dan bobotnya berbeda dengan Umar Bakrie, guru yang bergaji kecil namun tetap setia dengan pengabdiannya. Nasionalisme Arcandra Tahar juga tak bisa disamakan dengan Ngadinu, tukang becak di Solo yang mengaku pernah menempeleng pemuda rakyat di tahun 1965.
Bicara masalah nasionalisme dan patrotisme, tentu akan panjang dan menyita energi kita. Ahh persetan dengan nasionalisme, ahh masa bodo dengan patriotsime, toh kewarganegaraan tidak ditanyakan malaikat maut saat kita meninggal, misalnya. Ok, aku tidak menyalahkan mereka yang punya pikiran itu, namun aku punya prinsip, bila seseorang telah meng-apply kewarganegaraan asing, bersumpah setia terhadap negara asing itu, maka yang bersangkutan tentu tak mau ambil pusing dengan apapun yang terjadi di Indonesia. Ia tentu saja lebih concern dengan Negara ‘barunya’ tempat ia mencari makan dan hidup. Tempat dimana ia menghabiskan waktu dan hidupnya. Indonesia? Nanti dulu.
Kenapa aku bisa pada kesimpulan itu karena dengan ia menjadi WN (asing) Amerika, misalnya, maka ia dapat menentukan kebijakan dan arah politik Bangsa Amerika dengan ikut pemilu misalnya. Lalu untuk apa pula seseorang bersusah payah menjadi WN (Asing) Amerika bila dengan status PR saja ia sudah mendapatkan segalanya di Amerika.Â
Toh, cukup dengan status PR saja, kewarganegaran Indonesia-nya tak kan hilang. Lalu di mana letak kepeduliannya terhadap Indonesa bila –mungkin- saja ia tidak memilih presiden Indonesia, karena paspornya otomatis hangus akibat kebijakan dari UU Nomor 12/2016. Namun, terlepas dari apapun motif dan tujuannya, di mataku bagi seseorang yang sudah (pernah) menjadi WN Asing, tentu tak lah elok untuk dilibatkan membicarakan nasib dan masa depan (kemajuan) Indonesia ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H