[caption caption="Mobil Plat Merah milik Montana"][/caption]Sewaktu zaman Pak Harto masih presiden, bila kita berpapasan dengan Volvo berplat akhiran hurup BS, ada rasa ‘takut’ dan takzim. Oleh temanku, BS diplesetkan sebagai 'Bantuan Setneg'. Jadi, jangan coba-coba berurusan dengan BS. Dulu, jangankan melihat orang (baca;pejabat) yang berada di dalam mobil itu, baru lihat tongkrongan mobilnya saja kita akan respek dan hormat. Bahkan, bersentuhan dengan mobilnya saja merupakan suatu kebanggaan yang tak terkira.
Bicara mengenai mobil dinas atau mobil milik negara, di samping berplat merah, ada pula yang ber-plat hitam. Plat merah tentu dengan mudah dikenal sebagai property negara. Namun untuk plat hitam, butuh ‘keahlian khusus’ untuk mencirikannya sebagai milik negara. Plat hitam biasanya ditandai dengan akhiran hurup RFS, RFD, RFR, atau RF-RF lainnya. Meski tidak ber-plat merah, polisi yang bertugas di jalan raya akan tahu bila penumpang di dalamnya mesti orang penting. Ya, minimal jabatannya eselon 2. Plat merah, biasanya digunakan sebagai kendaraan operasional, atau kendaraan sejuta umat bagi pegawai di instansi tersebut. Mobilnya pun bukan sedan. Lazimnya berjenis van dengan kursi di tengah dan di belakang. Kebanyakan digunakan untuk mobil jemputan karyawan atau untuk dinas operasional kantor.
Sebagai pegawai pemerintah, ada banyak konsekuensi yang harus aku rasakan bila mengendarai mobil plat merah. Ada beban dan tanggung jawab moral yang tak ringan. Aku pribadi sangat risih bila harus berkendaraan dinas lantaran tak bisa bebas berlaku semaunya. Di antaranya adalah, tidak boleh berkendara dengan ceroboh; harus mengisi bahan bakar dengan jenis tertentu; dan, ribetnya, gak boleh sembarangan berhenti di dekat-dekat tempat hiburan (bioskop, panti pijat, mall atau tempat karoke-an), meskipun bila ban bocor, yang tak mau kompromi. Apa kata dunia bila dilihat masyarakat ada plat merah terparkir persis di depan tempat karokean atau di sebuah mal, meskipun pengendarannya sedang operasi atau menunaikan tugas kedinasan. Ya, inilah moral obligation yang membebaniku saat membawa mobil dinas.
Sejatinya mobil dinas hanya terbatas digunakan untuk dan/ke tempat-tempat yang baik-baik saja. Ke kantor, ke instansi pemerintah atau pun kunjungan ke warga masyarakat. Aib membawa kendaraan dinas untuk sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kedinasan. Namun, banyak kujumpai di akhir pekan, mobil dinas digunakan untuk menghadiri resepsi pernikahan. Bahkan, banyak pula mobil dinas dipakai untuk liburan keluarga ke puncak. Padahal, aktivitas-aktivitas itu sudah di luar kedinasan dan pastinya itu adalah urusan pribadi. Ironis.
Disamping ada ‘beban’, sebaliknya ada sebagian sejawatku, pengguna plat merah atau mobil dinas berplat RFS yang memanfaatkan ‘keuntungan’ tersebut, dengan merasa–seolah-olah- ‘bebas’ berkendara seenaknya di jalan raya, tanpa menghiraukan aturan dan rambu lalu lintas yang berlaku. Mereka seakan menikmati privilege khusus seperti tanpa malu melaju di jalur busway, berhenti dan parkir seenaknya di rambu larangan berparkir. Lalu, bila melanggar dan diberhentikan polisi, biasanya mereka berdalih dengan seribu satu alasan. Aku sendiri, bila kebetulan ke-gap dengan polisi, aku dan temanku di samping kemudi melontarkan ucapan: ‘Izin Ndan, mohon diskresi, buru-buru neh, ada tugas kantor/negara ketemu Pak Menteri.” (Padahal tugas apa juga tak jelas, dan kondisi negara gak segenting yang dibayangkan, hehe...)
Jadi, kembali ke pribadi pengguna. Bila attitude-nya bagus, maka ada perasaan terbebani dalam mengendarai mobil dinas. Pasalnya, sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan di jalan raya, maka akan menjadi buah bibir dan cibiran di masyarakat. Terlebih, masyarakat sekarang sangat kritis. Sering mereka berkeluh, aparat/PNS kok kelakuannya negatif. Aparat/PNS kok melanggar. Padahal, kita kan juga manusia biasa, bukan malaikat.
Nah, saat aku berkunjung ke Amerika Serikat dalam rangkaian program IVLP di bulan Maret 2016 lalu, ada yang menarik yang berhasil aku jepret di sana. Waktu itu, selepas mengunjungi instansi yang mengurusi masalah anak di negara bagian Montana, AS, tanpa sengaja mata ini menangkap deretan mobil yang terparkir rapi. Bukan parkiran rapi yang menarik mataku, namun ada satu mobil yang menarik perhatianku di antara jejeran mobil lainnya, yakni mobil berplat “State Owned” .
Lalu, kutanyakan maksud dari tulisan di plat itu pada Pak Hengky, Liaison Officer (LO) kami. Ia menerangkan bahwa itu adalah mobil ‘plat merah’-nya Montana. “Ooo, mobil dinas rupanya,” gumamku. Ya, di Montana, AS, mobil dinas atau mobil kantor ditandai dengan ciri yang kasat mata yakni ada tulisan state owned di plat mobil tersebut. Sehingga orang yang melihatnya akan tahu bahwa mobil itu adalah property negara. Tak semua pejabat di Montana mendapatkan mobil dinas. Anggota ‘DPRD’-nya Montana, misalnya, mereka tak mendapatkan jatah mobil dinas seperti anggota DPRD di beberapa Kab/Kota di Indonesia.
Mobil bertuliskan “State Owned” milik suatu departemen atau instansi biasanya diperuntukkan bagi mobil layanan kepada masyarakat dan pengguna-nya bisa siapa saja asalkan memang pegawai pemerintah di bagian atau divisi tersebut, tak mesti si pejabat atau bos di kantor itu. Jadi, mobil itu tidak dikuasai oleh orang per orang namun dikuasai oleh kantor dan untuk keperluan kantor, dan memang seperti itu semestinya.
Seperti kekayaan alam atau kekayaan lainya yang dimiliki oleh negara, mobil plat merah semestinya dikuasai dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan keperluan negara. Dan bukan dikuasai secara pribadi oleh si bos atau pegawai tertentu, apalagi dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H