[caption caption="Menu sarapan pagi (Dokpri)"][/caption]Biasanya di pagi hari, menu sarapanku adalah lontong sayur atau nasi uduk. Gonta ganti. Atau bisa pula diselingi dengan sayur (asem, sop, lodeh) dicampur dengan tempe goreng dan nasi hanngat. Sayur matang tersebut aku beli di warung makan depan rumah yang khusus menjual makanan siap santap yang telah dibungkus. Sebungkusnya 5 (lima) ribu rupiah.
Cuma itu yang tersaji di warung atau lapak makanan deket rumah. Lapak itupun hanya ada di pagi hari, yang memang sengaja dijajakan untuk ngebantu orang kantoran sepertiku yang gak sempet makan atau meramu nasi goreng, sekalipun. Keberadaan lapak makanan di pagi hari cukup membantuku.
Ya, kita sama-sama saling membantu. Mereka terbantu menggulirkan uangnya untuk tambahan jajan anak-anaknya, aku pun terbantu hingga tak perlu repot meminta istri membuatkan nasi goreng atau sekadar ceplok dadar telor.
Nah, saat aku di Amerika mengikuti program IVLP selama 3 (tiga) pekan, mau tak mau pola dan menu sarapanku pun berubah. Tak ada lagi lontong sayur ataupun nasi uduk semur jengkol. Kini yang ada dan selalu tersaji di ruang makan hotel adalah kentang rebus, roti (bisa dipanggang), telur dadar, dan pancake, serta daging olahan. Ya, hampir saban hari seperti itu. Gak berubah. Kalau satu dua kali nyoba, tentu masih ada rasa exciting-nya dan enak disantap. Namun bila telah menjadi rutinitas sarapan selama 3 (tiga) pekan, ya bosen juga.
Gimana caranya biar gak bosen? Selalu ada jalan dan cara bagi orang Indonesia katro sepertiku untuk mencari celah dan menyiasatinya. Biasanya aku menghangatkan lauk pauk makan malam yang tersisa untuk disantap keesokan paginya. Untuk makan malam, sengaja aku memilih resto China atau resto Asia di tiap kota yang kusinggahi, yang kadang menjual nasi. “Do you have steam rice?” Selidikku pada pramusaji, tatkala melihat magic jar di sudut tempat menaruh aneka makanan. Jadilah aku memesan nasi putih plus ayam atau beef poured with sweet sauce sebagai menu pelangkap.
[caption caption="Steak Salmon poured with steamed rice. Thai Cuisine.(dokpri)"]
Nah, lantaran sering gak sanggup menghabiskannya, timbullah ide kreatif untuk membungkus makanan yang dibeli supaya bisa disisakan untuk dimakan keesokan paginya. Beruntung, di tiap hotel yang kusinggahi selalu ada microwave. Benda ini sangat membantu. Jadi gak perlu repot untuk urusan hangat-menghangatkan makanan. Thanks to you, Micro.
Meski selama di Amerika Serikat aku menghabiskan malam rata-rata 4 (empat) hari di suatu hotel, untuk kemudian pindah ke negara (state) lainnya, namun tetap saja format dan standard baku per-sarapan di amerika seperti itu. Gonta-ganti hotel, tetap saja SOP-nya gak berubah. Telur, kentang, dan roti, serta daging olahan. Itu saja yang dibolak-balik. Boro-boro nyari nasi pecel atau salad khas america, seperti di kampung istriku di Klaten, nyari nasi goreng atau porridge made in hotel saja impossible.
Di saat sarapan, tatkala sedang mengunyah kentang yang terasa hambar di mulut, sering aku termenung dan lalu bersyukur. Beruntung, aku, keluargaku dan teman-temanku berwarga negara dan tinggal di Indonesia.
Dengan uang 10 (sepuluh) ribu rupiah ditangan, bisa peroleh sarapan yang super lezat dan nikmat. Dengan uang sebesar itu kita bisa membeli nasi pecel, atau bubur ayam atau nasi uduk lengkap dengan semur jengkolnya, plus teh manis panas. Bandingkan dengan mereka yang tinggal di Amerika, yang saban hari hanya ber-sarapan kentang, telor, roti dan daging olahan. Semuanya nyaris tanpa racikan aneka rempah dan bumbu-bumbu penyedap rasa. Hambar. Viva dunia kuliner Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H