Dissenting Opinion
ditulis oleh : Rachmat J Tanjung,SH.,CTL.,CLA.,CLI,CIRP dan Danur Ikhwantoro,SH
Menurut Pontang Moerad, Dissenting Opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.[1] Selain itu Dissenting Opinion adalah perbendaan pendapat tentang amar putusan hukum dalam suatu kasus tertentu, manfaatnya adalah untuk menuntut fakta hukum (lex factum) yang keliru diterapkan dalam suatu putusan hakim pengadilan, hal mana dipandang perlu untuk ditangguhkan sementara, diuji materil atau dibatalkan apabila putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, jadi ketika ada pendapat yang berbeda (Dissenting Opinion) dari salah satu hakim tapi putusan itu harus ditangguhkan sementara, diuji materilnya atau dibatalkan.[2] Dissenting opinion itu sendiri berasal dan lebih sering digunakan di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada sistem hukum tersebut dissenting opinion digunakan jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang hakim dengan hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas, pendapat hakim yang berbeda dengan putusan tersebut akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi dissenting opinion.[3]
Â
Pertama kalinya dissenting opinion  ini memiliki landasan yuridis di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan sudah ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion. Pengaturan dissenting opinion selanjutnya terdapat dalam dua Undang-Undang bidang Kehakiman yaitu Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (4) dan ayat (5) mengatur tentang dissenting opinion yaitu pada ayat (4) dijelaskan bahwa di dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pada ayat (5) dijelaskan dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.[4]
Â
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dissenting opinion diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) dan (4). Pasal 30 ayat (2) menggariskan, dalam musyawarah pengambilan putusan setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pada ayat (3) ditambahkan, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.[5]
Â
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dissenting opinion merupakan perbedaan pendapat atau argumen para hakim untuk kesimpulan perkara di pengadilan untuk sebuah putusan perkara yang sedang ditangani agar melahirkan amar putusan yang berkeadilan bagi semua pihak. Jimly Asshiddiqie berpendapat jika kesimpulan akhirnya sama, tetapi argumen yang diajukan berbeda, maka hal itu tidak disebut sebagai dissenting opinion melainkan concurrent opinion atau consenting opinion. Kadang-kadang ada dua argumen yang memang saling bertentangan dan tidak saling melengkapi. Akan tetapi, kesimpulan akhirnya sama, yaitu sama-sama mengabulkan, sama-sama menolak, ataupun sama-sama menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang bersangkutan. Dalam hal demikian ini, pendapat hakim minoritas yang berbeda dari pendapat mayoritas juga dapat dimuat dalam putusan sepertihalnya dissenting opinion.[6]
Â
Â