Kompasioner yang terhormat, selama kurang lebih dua tahun kita sama-sama merasakan suasana kehidupan yang “terbelenggu”. Ruang gerak dan komunikasi di antara anggota masyarakat terbatas karena ancaman pandemic Covid-19. Selama dua tahun itu pula kita tidak leluasa untuk melakukan mobilitas, tidak saja untuk bergerak ke luar kota tetapi juga di lingkungan sendiri.
Adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kemudian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) merupakan aturan yang harus dipatuhi.
Disamping itu ada juga pemberlakuan protokol Kesehatan yang dikenal lima M: (1) Memakai masker dengan baik, (2) Mencuci tangan menggunakan sabun di air mengalir, (3) Menjaga jarak minimal 2 meter, (4) Menghindari kerumunan dan (5) Membatasi mobilitas dan interaksi. Pemberlakuan protokol kesehatan, PSBB dan PPKM itu intinya ditujukan untuk melindungi diri dari ancaman pandemi Covid-19 yang merajalela.
Pembatasan itu dilakukan untuk mengantisipasi peredaran ancaman pandemic Covid-19, sehingga warga juga tidak diperbolehkan melakukan perjalanan untuk mudik ke kampung halamannya. Hawatir menjadi pembawa virus covid-19 kepada anggota masyarakat yang dikunjunginya.
Padahal mudik itu bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan salah satu tradisi, cara kita meluapkan kegembiraan setelah “menang” melawan hawa nafsu mampu menjalankan ibadah puasa sebulan penuh utamanya bagi warga muslim.
Sekarang kita bersyukur, boleh bernafas lega karena pemerintah sudah memberikan kelonggaran. Komunikasi di antara warga sudah terbuka, demikian juga mobilitas warga tidak lagi dibatasi. Dan satu hal yang membuat masyarakat “euphoria” adalah dibolehkannya warga untuk mudik.
Ditetapkannya persyaratan divaksin “booster” atau bagi yang vaksinnya baru dua kali dilakukan antigen tidak dianggap halangan dan tidak memberatkan bagi warga yang mau mudik. Warga patuh melakukannya, untuk mengantisipasi kemungkinan masih adanya ancaman covid-19, meskipun statusnya endemic bukan lagi pandemi.
Faktanya warga yang mudik sangat membludak, seperti yang dapat kita saksikan dalam pemberitaaan di layar kaca. Semua stasiun televisi menyajikan berita tentang kemacetan di mana-mana. Hampir di semua jalan transportasi yang menghubungkan jarak antar kota dan antar provinsi dipadati kendaraan roda empat yang mudik. Sebagian besar mereka menggunakan mobil sendiri membawa serta anggota keluarganya.
Tak urung polisi memberlakukan one way di tol Jakarta-Cikampek. Tujuannya untuk menghindari kemacetan itu, walaupun ternyata pendekatan one way itu juga banyak dikritik karena dianggap tidak efektif. Kemacetan bukannya terurai, tetapi malah tambah parah.
Kondisi di pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan antar pulau, seperti contohnya yang terjadi di Pelabuhan Merak Banten juga sangat padat dengan mobil yang mau menyeberang ke Pulau Sumatera. Antrian cukup panjang, dan tidak tanggung-tanggung ada yang mengantri hingga tujuh sampai delapan jam sebelum dapat giliran. Tetapi semua itu tampaknya dianggap sebagai wisata saja. Mereka menjalaninya dengan riang gembira.