Mohon tunggu...
Rachmat Galuh Septyadhi
Rachmat Galuh Septyadhi Mohon Tunggu... -

Bersenang senang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jadi Rakyat Pandai Terlambat, Jadi Pejabat Pandai Korupsi

10 Februari 2012   08:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tentu kenal dong dengan istilah "Jam Karet". Istilah ini mengungkapkan keterlambatan waktu dari apa yang sudah direncanakan. Misalnya sudah berjanji sama sama datang jam 07.00. Kenyataannya semua baru bisa datang jam 08.00. Istilah jam karet sudah membudaya di bangsa kita. Tidak sedikit pula orang yang sudah menyadarinya. Sampai sampai orang sengaja membuat waktu ngaret biar ngantisipasi mereka yang terlambat.

Suka atau tidak suka, budaya jam karet bukan suatu budaya yang diharapkan. Kamu mungkin adalah pelaku jam karet, tapi sebenarnya kamu adalah pelaku tindakan korupsi.

Ketika jam karet berlaku di dalam pikiran kamu, yang kamu pikirkan adalah seberapa besar sanksi yang akan kamu terima jika telat. Semakin ringan sanksi telat yang diberikan otomatis kesempatan kamu untuk terlambat lebih besar. Di sekolah misalnya. Siswa akan berjuang untuk tidak datang terlambat karena takut sanksi yang diberikan. Bisa dipulangkan atau bisa juga diberi surat peringatan jika terlampau sering terlambat.

Namun berhubung kamu memiliki karakter telat, kamu bisa manipulasi sistem yang ada. Bisa dengan cara datang terlambat ke sekolah tanpa membawa tas, titip absen, dan lain sebagainya.

Dalam praktik korupsi, mulanya seseorang dihadapkan kepada kesempatan untuk melakukan korupsi. Kalau bisa mengambil uang yang bukan seharusnya tanpa sanksi, kenapa tidak? Sanksi berat memang sudah dibuat untuk memagari sistem di dalamnya. Namun karena karakter korupsi, kamu buat berbagai skenario untuk memanipulasi sistem sehingga tidak ketahuan kalau kamu melakukan korupsi.

Telat adalah budaya korupsi dimana kita mau patuh kalau ada sanksi bukan berdasarkan budaya malu. Ketiika sudah dibuat kesepakatan waktu, seharusnya kita memiliki rasa malu ketika kita tak dapat mengikuti kesepakatan yang sudah dibuatnya sendiri.

Tanpa rasa malu, orang melakukan korupsi. Bukan malu kepada orang lain karena orang lain juga tak menyaksikan. Tapi kebiasaan atau budaya malu kepada diri sendiri ini yang hilang dari diri para pelaku pelaku korupsi.

Sekiranya logis mengapa bangsa kita tak pernah lepas dari jeratan korupsi. Kita selalu memaki memaki mereka yang melakukan korupsi padahal kita sendiri sama sama tak memiliki budaya malu kepada diri sendiri. Bedanya, kita rakyat biasa, dia adalah pejabat. Sifatnya sama tapi beda jabatan. Kalau kita memangku jabatan seperti itu, pastilah kita turut andil dalam perilaku korupsi.

Jangan suarakan anti korupsi jika diri kita sendiri masih membudayakan "jam karet"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun