Mohon tunggu...
Rachmat Fazhry
Rachmat Fazhry Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Prinsip hidup Saya : Hidup Sehat, Pintar, Bijaksana Kunjungi blog saya https://jurnalfaz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenal Jakarta Gems Center (Pasar Rawa Bening) Bag 1

25 Februari 2015   02:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat itu di depan Gerbang Balai Yasa milik PT Kereta Api, Saya duduk di atas motor scoopy bewarna merah putih sedang menunggu teman. Sudah hampir setengah jam lamanya. Namun orang yang diharapkan tidak kunjung datang. Seharusnya, dari obrolan semalam di BBM kami janji bertemu pukul sebelas siang. Setelah beberapa kali lirikan ke spion motor, akhirnya Umang datang. Postur tubuhnya jangkung dan memiliki senyum yang ramah. Ia mengenakan kaos bewarna merah dilapisi dengan jaket tanpa lengan. Tidak seperti pakaian dinas yang biasa ia pakai. Katanya tidak enak kalau dilihat sekuriti. "Ambil kanan aja, jangan ke stasiun," perintah Umang mengarahkan. Tidak jauh dari jembatan shelter trans jakarta Pasar Jatinegara, motor Saya belokan ke arah kiri, masuk ke jalan yang lebih kecil. Beberapa ratus meter dari situ, kios-kios berukuran kecil berjejer saling berhimpitan. Bunyi ketukan palu dan mesin pemoles batu terdengar saling bersahutan. Orang-orang berdiri di depannya, ada juga yang sekedar melihat-lihat sambil berlalu-lalang. Padahal kondisi jalan saat itu becek bercampur tanah bekas sisa hujan. Semakin ke ujung, Saya memeperlambat laju motor. Jalan yang rusak dan banyaknya pengendara motor menjadi pertimbangan. Akhirnya Saya memarkirkan motor di salah satu sisi jalan. Berhimpitan dengan motor-motor lainnya yang telah dulu tiba. Pada bagian ujung jalan itu, terpampang nama Jl Bekasi Barat 1 dan tembus ke Jl Bekasi Barat. Dari tembusan jalan tersebut, stasiun Jatinegara telihat hanya beberapa ratus meter saja. Eli dan Kepingan Batu Bangunan itu tampak belum sepenuhnya selesai. Lapisan semen bewarna abu-abu masih menempel pada sisi dinding bangunan. Teksturnya juga masih kasar. Sedangkan pada bagian dalam gedung, orang-orang berjalan hilir mudik. Kepala mereka hampir serempak menunduk. Menatap batu-batu yang berserekan di atas meja. Kadang mereka berhenti, memegang dan melihat dengan seksama batu yang menjadi pilihannya. Umang mengenalkan Saya pada wanita setengah baya. Eli namanya. Ia berbicara dengan logat sunda yang masih melekat. "Gue tinggal dulu ya, lo tanya-tanya aja," kata Umang lalu pergi. Sepeninggal Umang,  Saya memperhatikan kepingan batu yang terkumpul dalam beberapa baskom berisi air. Pada salah satu baskom, terdapat kepingan batu yang bercorak warna merah dan hijau tidak beraturan. Di sampingnya, batu bewarna hitam mengkilat menyapa rasa penasaran Saya. Kata Teh Eli, itu batu opal dari Banten. Sedangkan batu yang memiliki guratan bewarna-warni berasal dari Garut "namanya batu Pancawarna," kata teh Eli menjelaskan.

Bukan Saya saja yang tertarik dengan kepingan batu jualan Teh Eli. Orang-orang silih berganti menghampiri kiosnya. Jemari mereka mengaduk kepingan batu yang berada di dalam baskom. Lalu memandangnya dengan tajam. Kadang diantara mereka menggunakan senter untuk melihat kadar kristal yang terkandung dalam batu.  Maklum saja, lapak teh Eli sangat strategis. Letaknya berada di depan pintu masuk. Tepat setelah anak tangga terakhir sebelum memasuki isi dalam gedung. Teh Eli mendapatkan kepingan batu dari petani, begitu ia menyebut penambang batu. Sekali beli, teh Eli langsung membelinya dengan borongan. bisa puluhan kilo hingga beratus kilo Kadang ia harus menggunakan truk untuk mengankut kepingan batu langsung dari sumbernya. Terlintas pikiran Saya membayangkan bagaimana para penambang batu harus masuk ke dalam-dalam goa, memukul keras-keras dinding goa demi mencari batu untuk sebuah rupiah. Begitu beratnya hidup mereka. Mata Saya beralih ke meja terjauh di kios milik teh Eli. Dari sana tampak kepingan batu sudah berubah bentuk menjadi lebih kecil dan lebih menarik. Sudah sempruna untuk dijadikan batu cincin. Bentuknya ada yang bulat lonjong, ada pula yang bulat sempurna. Begitu juga dengan warnanya. lebih kinclong dan bersinar. "biar pembeli bisa milih bentuk yang dia suka, kalo bentuknya gede semua atau kecil semua jadi susah jualnya," ujar teh Eli memberi tahu. Saya merasa heran, biasanya setiap kios apapun jualannya pasti memiliki nama. Rasa tahu itulah yang Saya tanyakan pada teh Eli. Ternyata nama kiosnya adalah Ki Santang. Jawaban itu sekaligus menjawab mengapa banyak tinta hitam yang tercoret di baskom-baskom milik teh Eli. *** Mata Saya mencari Umang. Ia terlihat sedang berdiri di salah satu kios. Rupanya, ia tertarik dengan salah satu batu Pancawarna yang menjadi kesukaannya. Tawar menawar masih terjadi saat Saya menghampiri. Setelah beberapa kali penawaran, akhirnya ia berhasil menggoyahkan hati si ibu penjual batu. Di sebelahnya, warna-warna mengkilat seperti perak berjejer rapi. Tapi itu bukanlah batu akik. Melainkan pengikat cincin yang dijual bang Idris. Dari obrolan Saya dengannya, pengikat cincin memiliki beberapa macam bahan. Mulai dari bahan Aloy, rodium hingga titanium. Warnanya yang menyerupai perak dihasilkan dari proses khrom yang menggunakan bahan-bahan kimia saat pemopresan berlangsung. Saya dan Umang bergerak ke bagian paling belakang. Di sana terdapat ruangan yang paling berisik. Dipisahkan oleh kaca yang berbentuk lebar. Saya masuk melalui samping. Debu-debu bewarna abu-abu menyambut Saya. Butiran halus itu terbang bergerak bebas ke seantero ruangan. Di sudut-sudutnya, mesin-mesin pemotong bergerak cepat. Mata pisaunya dengan mudah memotong batu. Sementara itu, mesin penghalus berputar dengan kecepatan  tinggi. Suaranya begitu bising. Memekakkan telinga. Saya harus menaikkan volume suara untuk berbicara dengan Bang Ridwan, salah satu tukang poles batu di ruangan itu. "Tergantung ukuran batu, kalo besar atau jumbo paling satu jam," begitu kata Bang Ridwan. Pemolesan batu memiliki tingkat amplas yang bertahap. Bang Ridwan menunjuk beberapa roda pemoles batu yang memiliki ukuran amplas yang berbeda-beda. Mulai dari ukuran 120 hingga mencapai tingkat akhir amplas 1000. Ia mematok harga mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 200.000 tergantung dengan ukuran batu yang ingin dipoles. Mengenal Jakarta Gems Center Bagian 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun