Anak-anak bercanda di jalan sempit Kampung Bandan Saya meneorobos jalanan Jakarta yang ramai kala itu. Mendung masih bergelayut meski hujan telah berhenti. Dari Kampung Melayu perjalanan sedikit lancar namun mulai tersendat di Jalan Gunung Sahari. Ternyata genangan air menjadi penyebabnya. Air Kali Ciliwung meluap luber hingga ke tengah jalan. Proyek pengerukan sepertinya belum berhasil. Pelebaran badan kali juga masih tampak tak terurus. Ketinggian air saat itu mungkin mencapai 30 cm. Menutupi tempat kaki Saya berpijak. Saya pun harus mengambil gaya ngangkang, menghindari air agar sepatu tidak basah. Motor Saya paksakan bergerak. Membelah genangan air yang bewarna coklat pekat. Mobil di sisi kanan melaju dengan bebas. Melahirkan gelombang. Membuat motor saya agak goyah ketika terhantam. Jalan juga berlubang dan berkerikil. Kemudi motor Saya bergerak tidak sesuai dengan keinginan. Pelan-pelan Saya mengambil lajur di sebelah kanan. Airnya tetap tinggi namun jalannya lebih rata dibandingkan lajur di sebelah kiri. Beberapa motor kehilangan lajunya. Raut wajah sang pemilik terlihat kesal. "jangan mati, jangan mati" ungkap Saya dalam hati. Berharap mesin motor Saya tetap kuat menghadapi ujiannya. Perlahan Saya mainkan gas agar tetap mampu berjalan. Di depan sana terlihat aspal yang menghitam. "Sedikit lagi sampai" Saya memberi semangat pada diri sendiri. "ahh..." nafas Saya menghela nafas panjang. Tubuh yang tegang menjadi tenang. Perasaan juga menjadi lega. Genangan itu berhasil saya lalui. Motor saya gas melewati Mangga Dua square lalu berbelok ke kiri arah Tanjung Priuk. Pada putaran jalan, saya sempat berhenti.untuk bertanya. "ikutin jalan ini aja bang nanti adanya sebelah kanan", jelas tukang parkir putaran sambil menunjuk jalan. Asal Nama Kampung Pandan Mesin motor Saya matikan di pelataran parkir masjid. Langkah pertama saya adalah mencari warung. Tenggrokan saat itu terasa kering karena perjalanan dan menghirup debu. "permisi pak, kalau pengurus masjid tinggalnya di mana ya?" tanya Saya pada seorang bapak di warung makan. "oh, masuk aja, tinggalnya di sini kok. itu orangnya di belakang" jari telunjuknya mengarahkan Saya untuk ke sana. "Assalmualkum" sapa Sayapada seseorang. Hidungnya mancung layaknya orang arab. Ia mengenakan peci bulat bewarna putih yang senada dengan pakaiannya. Saya memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya. "Saya Alwi Ali Assyahtri." balasnya. Habib, begitu Saya menyapanya, mempersilahkan duduk. Rokok kretek dipijit dahulu olehnya sebelum dibakar. Asap putih keluar dari bibirnya. Ia mulai bercerita mengenai Kampung Bandan. Diceritakan Habib, nama kampung diambil dari banyaknya tumbuhan pandan yang ketika itu tumbuh subur di sekitar kampung. Tumbuhan berdaun panjang ini sangat mudah ditemui seantereo kampung. Namun ada pula yang mengatakan, bahwa nama Kampung Pandan berasal dari sebuah kepulauan di timur Indonesia yang bernama Banda. Ketika itu, Belanda lewat kongsi dagang VOC-nya membutuhkan banyak pekerja untuk membangun Batavia. Maka berbondong-bondonglah masyarakat Banda didatangkan demi sebuah ambisi dan dijadikan budak. Mereka ditempatkan dalam sebuah kampung di pesisir utara Jakarta dekat Pelabuhan Sunda Kelapa. Semenjak itu nama kampung itu dikenal dengan nama Kampung Banda atau Kampung Bandan Dituturkan Habib, para budak pernah melawan untuk kebebasan. Namun berhasil diredam karena kekuatan yang tidak seimbang dengan VOC. Keturunan mereka juga tidak ada yang menetap di Kampung Bandan. "mereka di bawa lagi sama Belanda ke tempat kekuasaan Belanda lainnya, mungkin di luar Indonesia". tutur habib menjelaskan. Peninggalan Budak Banda Pada tahun 2004, habib kedatangan seorang tamu. Ia mengaku masih keturunan sultan Kepulauan Banda. Pada habib, tamu itu menceritakan maksud kedatangannya yang ingin mencari jejak leluhurnya. Para tetua di kampungnya mengatakan bahwa ada peninggalan jejak orang Banda di daerah Ancol. Namun Habib tidak begitu tahu mengenai soal itu, Ia hanya ingat bahwa ada batu nisan yang memiliki bentuk berbeda dari batu nisan yang lain. Habib mengajak si tamu masuk ke dalam Masjid Al Mukaromah. Si tamu merasa senang. Batu nisan yang diperlihatkan habib sangat mirip dengan daerah asalnya. Bentuknya bulat, panjang dan tidak terukir nama si pemilik kubur. Terlihat sudah sangat lama. Guratan-guratan yang terlihat juga nampak tua. Peninggalan batu nisan yang masih tersisa di Kampung Bandan Islam Sudah Masuk Wajah Saya tampak serius mendegarkan setiap kata yang dilontarkan habib. Kisahnya semakin jauh bergeser sebelum menjadi kampung penampungan budak. Saat itu islam sudah menjadi agama yang mendominasi. Hal tersebut berkat Mohamad Bim Umar Alkudsi dan Ali Bin Abdurahman Ba'Alwi asal Yaman. Bahkan, lanjut Habib makam kedua penyiar agama islam tersebut masih ada di dalam masjid. Ia juga menambahkan bahwa keduanya merupakan penyebar agama islam pertama di tanah Betawi. Habib Alwi Ali Assyahtri berdiri di depan makam Mohamad Bim Umar Alkudsi dan Ali Bin Abdurahman Ba'Alwi dan kakek buyutnya Habib Abdurahman Bin Alwi Asy-Syathri Habib juga bercerita mengenai kakek buyutnya yang berasal dari Bogor. Dari sana, leluhurnya mendapatkan sebuah petunjuk dari kitab-kitab yang di bacanya. Dalam petunjuk itu, disebutkan bahwa ada makam tua yang terletak di Jakarta. Dari informasi itu buyut habib yang bernama Habib Abdurahman Bin Alwi Asy-Syathri menuju Jakarta. Benar saja, makam yang dimaksud dalam kitab ditemukan dalam keadaan tidak terawat. Mulai dari situ sang buyut tinggal dan membersihkan hingga ramai oleh para peziarah. Melihat banyaknya pengunjung, sang buyut pun membangun muhsola untuk tempat shalat hingga diperluas menjadi masjid. Masjid Al Mukaromah menjadi salah satu bangunan yang masuk dalam cagar budaya di Jakarta Sejarah Masjid yang kuat membuat pemerintah daerah mengukuhkannya masuk dalam bangunan cagar budaya pada tahun 1972. Namun kebesaran nama cagar budaya tidak membuat biaya mengalir deras ke kas masjid. Habib dan masyarakat sekitar harus membangun perluasan dengan belas kasih para jemaah masjid. Pembangunan harus dilakukan karena banjir sering melanda area sekitar. Letaknya yang bersebelahan dengan Kali Ancol, membuat masjid sering terendam. Keadaan Kampung Bandan Deretaan rumah saling berhimpitan. Kebanyakan bertingkat ada pula yang tidak. Ada yang dibangun dari beton ada juga yang masih menggunakan kayu. Luasnya tidak terlalu besar, begitu juga dengan jalannya. Hanya bisa dilalui satu mobil saja. Terdapat tanah lapang di salah sudutnya. Di sela-sela jalan utama terdapat gang yang terselip. Keadaannya gelap dan kumuh. Kadang penghuni rumah mengeluarkan sebagian tubuhnya. Duduk menikmati semilir angin. Saya terus berjalan hingga ke ujung jalan. Pada bagian ini jalan terpecah menjadi lebih kecil ke arah dua sisi. Anak-anak kecil beerlarian, ada pulau yang bercanda sambil naik sepeda. Sementara para ibu, asik ngobrol sesama kaum perempuan. Saya jadi teringat dengan cerita Habib saat di masjid tadi. Ia menceritakan bahwa Kampung Bandan pernah terjadi kebakaran hebat pada Juli 2001. Dari 13 RT di Kampung Bandan 11 RT-nya ludes dilahap si jago merah. Saya membayangkan begitu besarnya bencana saat itu. Apalagi Rumah-rumah pada masa itu dibangun dengan pondasi kayu, ciri khas khas rumah pesisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H