Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ganti "Gerbang" Sekolah

22 Mei 2017   09:33 Diperbarui: 22 Mei 2017   10:19 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musimpenerimaan siswa baru seperti ini memang menjadi musim yang panas di sekolah.Setiap sekolah selalu berusaha menaikkan citranya. Sekolah yang punya namabesar akan dengan bangga menyampaikan bahwa hanya sedikit siswa yang merekaterima dibandingkan dengan ribuah pendaftar seluruhnya. Sedangkahsekolah-sekolah pinggiran hanya pantas berebut "sisa" atau"muntahan" dari sekolah-sekolah di kota. Pertanyaannya, masihlayakkah sistem penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah yang ada sekarang ini?

 

Sejatinya,Sekolah memang selalu berlomba untuk meningkatkan standarnya. Salah satu carapintas yang dianggap oleh beberapa sekolah untuk mencapai hal tersebut adalahdengan memperketat gerbang (tes masuk sekolah) mereka dengan menambah banyak,dan bobot soal/persyaratan yang digunakan. Mereka menganggap bahwa jika inputyang masuk di sekolah (dengan berbagai macam penyaringan) adalah input yangbagus, maka output yang di harapkan bisa terealisasi dengan mudah. Benarkahdemikian?

 

Sekarangpikirkan. Jika kita anggap bahwa guru adalah orang tua, maka harusnya sekolahadalah rumah, dan siswa-siswa adalah anak-anaknya. Lantas orang tua macam apayang memilih anak-anaknya, mana yang boleh masuk dan mana yang tidak bolehmasuk dalam rumah. Orang tua macam apa yang memasang jebakan dan rintangan padagerbang rumahnya agar hanya anak yang pantas yang bisa masuk. Lebih-lebihgerbang (tes masuk) yang digunakan untuk memfilter sering kali hanya berdasarpada tiga mata pelajaran dewa (bahasa, matematika, ipa) yang tidak merepresentasikankondisi anak seutuhnya.

 

Sudahjelas idealnya sekolah bukanlah sebuah perusahaan yang perlumenyaring/menyeleksi karyawannya demi profit yang akan diperolehnya. Sekolahjuga bukanlah tempat bekerja bagi para siswa yang harus dihitung untung rugidalam penerimaan mereka di sekolah. Sekolah bukan lembaga yang mengutamakanprofit sehingga harus menjaring siswa yang mampu memberikan "omset"lebih bagi sekolah. Dengan demikian sungguh tidak pantas menyeleksi siswa untukmeningkatkan standar sekolah yang sering kali ujung-ujungnya sebagai alatpencitraan sekolah semata.

 

TesIQ biasanya menjadi tes yang paling sering dijadikan "hades gates"(gerbang neraka) di beberapa sekolah. Tujuannya jelas sebagai penyaring terkuatagar jangan sampai anak "bodoh" yang tidak layak berhasil masuk danditerima di sekolah. Tes IQ ini pada praktiknya kebanyakan hanya melihatlogical intelegence dan language intelegence dalam diri seorang siswa. Apabenar hanya dua kecerdasan tersebut, kecerdasan logika dan bahasa yang berperandalam diri seorang siswa?

 

TesIQ semacam ini sudah tidak digunakan lagi di beberapa negara maju. HowardGardner, guru besar bidang psikologi di Harvard University (yang terkenaldengan teori multiple intelligence) menyatakan bahwa setidaknya ada 9 jenisintelegensi dalam diri manusia. Inteligensi tersebut tidak dapat dilihat dandiukur dari nilai-nilai yang didapat seseorang dari beberapa tes semata.Inteligensi menurutnya, hanya bisa dilihat ketika orang tersebut menghadapimasalah yang membutuhkan pemecahan, itupun bisa berubah seiring waktu danbukanlah suatu harga mati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun