Mohon tunggu...
Rachmat Budi Muliawan
Rachmat Budi Muliawan Mohon Tunggu... -

Rachmat Budi Muliawan ------------------------------------------- \r\n"Sepintas bahasa tampak sebagai himpunan kata-kata, tetapi bahasa tidak sesederhana itu. Lebih sekedar perbendaharaan kata-kata, bahasa merupakan suatu sitem tanda, yang memungkinkan menjalankan fungsi hakikinya sebagai sarana representasi dan komunikasi."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Negeri Tercinta

1 Desember 2011   06:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:58 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Foto diambil dari google

INI pertanyaan yang kesekian atau bahkan mungkin telah puluhan kali yang sering diajukan kepadaku oleh banyak orang. Biasanya pertanyaan seperti ini tidak menggangguku. Tapi ketika pertanyaan itu diajukan oleh temanku dari Eropa yang sedang berlibur dan menginap di rumahku, hatiku menjadi tersentak dan menjadikanku merenung berkepanjangan. Dia bertanya padaku: "Apakah engkau bangga ataukah malu pada negerimu?" Dia datang dari negara di benua jauh seberang sana, dia bertanya demikian padaku apakah karena betul-betul ingin tahu atau mungkin hanya ingin menyindir? Aku tidak begitu faham tujuan pertanyaannya. Mungkin saja dia memang kagum pada alam negeriku ini. Atau mungkin dia justru bangga pada negerinya sendiri di sana dan ingin membandingkan dengan negeri orang lain. Tentu dengan kebanggan yang mereka terjemahkan sendiri. Bagiku kata kebanggaan adalah relatif. Hemm...boleh jadi aku hanya terlalu sensitif. Terhadap negeri mereka sendiri yang pernah aku kenal (aku pernah berkunjung di banyak kota Eropa), dengan kota-kotanya yang mewah, kondisi jalannya yang teratur rapi, nyaman dan bersih, aku meyakini bahwa mereka tentu bangga. Bagi mereka, kota-kota di sana yang pernah aku jejaki adalah kota penuh kebanggaan. Entah bangga pada bagian yang mana dan karena apa? Aku tidak begitu tahu. Tapi aku iri. Aku menjadi ingat saat aku berkunjung di salah satu negara Eropa. Di sana aku bertemu dengan saudara-saudara dari Indonesia-- orang-orang dari negeriku ini-- yang menetap di sana. Aku berjumpa di salah satu tempat yang luas, serupa alun-alun di sebuah pinggiran kota. Saat itu hari minggu pagi, mendekati musim dingin. Mereka tengah menikmati hangatnya matahari terakhir sambil berolah raga di udara terbuka. Saat itu aku datangi mereka dan menyapanya dengan haru. Mereka ada di sana, tinggal dan menjalani sisa-sisa hidupnya. Mereka sangat jauh dari negerinya sendiri, berada di negeri orang yang jauh berbeda tradisi dan budayanya. Walau di sana tercukupi, namun aku tahu di palung hatinya yang terdalam sebenarnya mereka rindu akan ibu pertiwi. Tanah air bagi mereka adalah masa lalu yang terukir kuat dan mengakar di hati mereka, tapi mereka tak terjanjikan atas keadilan dan juga hak-hak mereka. Negeri mereka sendiri beberapa puluh tahun lalu, mengusirnya dengan paksa lewat tangan kekuasaan. Dan peristiwa itu hingga kini tidak pernah tuntas duduk soalnya. Mereka kecewa atas itu! Diantara mereka pasti merindukan lingkaran kuning jingga yang pijarnya menghangatkan tanah sepanjang tahun, atau mungkin mereka bahkan merindukan kesemerawutan kota-kota dengan debu dan polusinya, dengan bisingnya klakson dan makian sopir yang kasar di rimbah jalanan. Banyak orang tentu geram ketika berada di dalam kendaraan umum yang berjejal dengan panasnya yang menyelubungi bumi dan hanya bisa terdiam karena jalanan di tutup beberapa jam berhubung ada pejabat yang lewat. Semua penumpang melongok ingin tahu pejabat yang lewat itu dengan mangkel, karena mereka tahu pejabat itu telah membawa kabur hak-hak yang mereka miliki. Kini, malukah aku? Mungkin aku malu. Mana kala aku melihat beribu-ribu anak jalanan yang seharusnya dipelihara negara, tetapi tetap saja masih terlantar dan tergadaikan hidupnya dengan keping-keping recehan rupiah. Itu tak seberapa, di tempat itu --terlihat atau tidak terlihat-- nyawa mereka seakan tak ada harganya. Kebodohan, kebebalan atau ketakmampuan mereka yang berdasi telah membuat aku malu, oleh karena moral mereka itu, bangsaku menjadi lemah dan bobrok. Yang berdasilah yang sering membual dan berdusta manakala berbicara dengan rakyat. Hormatkah aku? Aku tersenyum pada bunga melati yang baru saja mekar pagi ini, putih dan hanya putih, yang banyak menghias taman dan tanah halaman rumah-rumah negeri ini. Tapi apakah di sini masih ada harapan untuk hanya sekedar tersenyum dan membayangkan sebuah kepastian? Aku tersedak, aku takut pada ketidakpastian. Tidak ada hukum yang menjadi sandaran, juga tak ada teman untuk bersandar ketika banyak orang menghadapi ketidakpastian atas nama hukum diinjak-injak para kaum berdasi. Aku getir dan takut, seperti di sebuah hutan gelap gulita tanpa arah dan setiap detik siap terpleset lumut hijau atau termakan harimau yang mendadak muncul dari depan. Lalu apa yang aku bisa tatap dari negeriku. Selalukah aku harus melihat berduyun-duyun barisan orang yang tersuruk menjemput keping nasi di atas tanah berlumpur, sedang bedebah-bedebah berdasi itu asyik menggembungkan perut dan melemaskan mata terus menerus sambil berbantal uang. Mereka tidur lelap dari kenyataan yang merajalalela. Apakah aku bangga? Aku ingat kini. Tentang kebohongan di masa lalu. Guruku yang mengajarkan tentang kebohongan, yang mengajarkan kenyataan yang samar, agar kami setidaknya pernah merasa bangga pada negara. Sebuah negeri yang indah, yang orang-orangnya saling bersahabat, yang menegakkan kebenaran. Dan kebohongan itu terus diwariskan untuk mengungkung banyak orang hingga kini. Apa yang harus ku banggakan? Aku hanya bisa malu. Tapi kami masih mencari dalam sebuah ruang kegelapan. Kami masih ingin berlari dan terus bertanya akan kebangaan pada tanah air. Kami berlari di antara puing-puing yang rusak. Namun di sudut sana aku merasa masih ada kebanggaan yang harusnya kami lihat, yang belum tampak namun nyata. Masih ada di sekeliling sana, walau kami harus lebih dulu mendobrak dan melawan kungkungan para pemakai dasi yang katanya mewakili kami. Aku tersenyum, aku bangga dengan matahari katulistiwa yang bersinar sepanjang waktu, dan kami mau belajar dan berjuang terus untuk sebuah arti kebanggaan. Karena aku auman kaum muda.** Yogyakarta, Oktober 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun