Sekolah negeri merupakan institusi pendidikan yang menjadi garda terdepan dalam pemerataan akses pendidikan karena digadang-gadang bebas biaya. Akan tetapi, realitanya sering kali berbanding terbalik. Alih-alih gratis, muncul praktik pungutan liar (pungli) yang membebani siswa dan orang tua. Pungutan liar ini kerap kali dilakukan oleh komite sekolah atau koordinator kelas (korlas) yang berkedok "sumbangan sukarela" atau "kepentingan bersama". Ironisnya, sukarela berubah menjadi wajib.
Bagi yang tidak mampu membayar, konsekuensinya sangat menyakitkan, yaitu dikucilkan, dimusuhi, bahkan siswa menjadi korban bullying. Siswa dan orang tua yang enggan berkontribusi kerap mendapat stigma negatif selah mereka tidak peduli terhadap kebutuhan bersama.
Padahal, setiap kelas biasanya sudah memiliki uang kas yang cukup untuk kebutuhan operasional. Jadi, mengapa harus ada pungutan tambahan? Jika uang kas, tidak mencukupi, seharusnya terdapat transparansi dan musyawarah yang melibatkan semua pihak, bukan paksaan terselubung.
Praktik pungli ini sebaiknya segera ditindak lanjuti oleh pemerintah, melalui dinas pendidikan. Pengawasan ketat terhadap komite sekolah dan aktivis korlas sangat diperlukan. Jangan biarkan siswa menjadi korban konflik kepentigan antara pihak-pihak yang seharusnya mendukung pendidikan mereka.
Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh Undang- Undang (UU), bukan ladang bisnis atau ajang saling memeras. Pendidkan seharusnya mendidik, bukan menciptkan diskriminasi. Oleh karena itu, sekolah negeri dengan label 'gratis' harus benar-benar bebas dari pungli, tanpada intimidasi maupun tekanan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI