Pengalaman naik kereta buat saya bukan yang pertama kali. Entah sudah berapa kali saya bolak-balik menggunakan jasa transportasi yang satu ini. Mulai dari kereta jenis ekonomi yang butut, sampai penuh sesak, bisnis, juga eksekutif yang nyamannya pol. Tapi, mungkin ini pengalaman saya yang paling bermakna di antara pengalaman naik kereta saya yang lain. Cerita dimulai ketika saya dan teman saya yang pulang jalan-jalan dari Yogyakarta, bergaya ala backpacker amatiran. Mau tidak mau kami harus pulang saat itu juga pakai kereta ekonomi jurusan Yogyakarta – Bandung karena uang sudah habis, tak ada uang untuk menginap lagi, yang tersisa tinggal selembar nominal warna biru. Berbekal tanya menanya ke berbagai orang, naik Trans Yogya jalur 2B dari Ngabean, lalu transit di Joktenwetan berganti jalur 2A, akhirnya kami sampai di Stasiun Lempuyangan dekat Stadion Kridosono. Kami pun bertemu dengan dua orang backpacker yang mempunyai tujuan ke stasiun yang sama. Katanya mereka mau pulang ke Karawang, tapi sudah membeli tiket pulang seminggu sebelum hari keberangkatan. Oh yeah, bagaimana dengan kami berdua? Nyatanya kami belum beli tiket dan uang pun habis. Saya sudah mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk kalau-kalau kami tidak dapat tiket: menginap di stasiun. Tapi alhamdulillah, kami pun mendapatkan kursi di kereta Kahuripan, kereta yang akan kami tumpangi, seharga Rp 35.000,-. Kereta akan berangkat sekitar pukul 21.23 yang mana adalah empat jam setelah kami membeli tiket. Selamat menunggu. Bisa dibayangkan bagaimana kami menunggu selama empat jam di stasiun. Duduk, mengobrol, melihat keadaan sekitar. Tapi tidak terlalu membosankan lho. Kami sempat bertemu dengan seorang ibu muda dan bayinya yang bernama Andreasyah. Umurnya baru tujuh bulan, lucunya pol. Mereka berencana pergi ke Solo. Bermain-main dengan bayi agaknya sangat menyenangkan. Andrea hanya sesekali tersenyum waktu saya bercanda dengannya, malu-malu sepertinya. Tapi dia akan sangat bersemangat, tertawa, berusaha untuk meloncat-loncat saat tubuhnya diberdirikan. Padahal untuk berdiri saja dia belum bisa.
Lalu kami bertemu juga dengan seorang penumpang yang ternyata tidak mempunyai tiket, tapi memaksakan diri untuk naik kereta. Katanya ia sudah cari tiket bus juga travel tapi sudah terlambat. Mau tidak mau ia harus ke Bandung apapun yang terjadi. Adiknya yang kuliah di Bandung sakit dan butuh bantuan dari kakaknya, yang kuliah di Yogyakarta, keluarga satu-satunya yang ada di pulau Jawa. Maklum, ia berasal dari Flores, NTT. Ia datang sekitar pukul setengah tujuh malam di Stasiun Lempuyangan dan sudah kehabisan tiket kereta. Syukur kami ucapkan karena kami sampai dua jam sebelumnya. Kalau tidak, mungkin kami akan punya nasib yang sama. Akhirnya ia nekat untuk naik kereta Kahuripan, jurusan yang sama dengan kami, ke Bandung. Bedanya, kami turun di Stasiun Rancaekek, ia turun di Stasiun Kiaracondong. Hati-hati ya mbak, mudah-mudahan mbak ngga kenapa-kenapa nanti di kereta. Oh ya, Stasiun Lempuyangan yang notabene-nya adalah Stasiun khusus untuk kereta ekonomi, keadaannya baik sekali lho. Stasiunnya rapi jali, tidak ada sampah, meskipun saya menemukan dua ‘sampah masyarakat’ yang merokok sembarangan di bawah tanda AREA BEBAS ASAP ROKOK besar-besar. Sepertinya terjadi perombakan di perkeretaapian sini. Kalau di tahun-tahun sebelumnya tiket terus dijual walaupun jumlah kursi sudah habis, sekarang tiket yang dijual harus sesuai dengan kursi yang ada. Jumlah kursi habis, ya sudah, tidak bisa naik. Peraturannya seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H