Berbicara tentang rokok, rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari yang terasa sangat biasa. Bagi sebagian orang, terutama di Indonesia, rokok seperti sebagai suatu kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi terasa ada yang kurang dalam dirinya. Ini dapat dilihat setiap harinya, setiap waktu dapat ditemukan orang-orang di sekitar yang merokok. Terlalu banyaknya masyarakat Indonesia yang mengonsumsi rokok ternyata mendatangkan suatu “prestasi” bagi negara ini. Menurut Menteri Kesehatan, tingginya populasi dan konsumsi rokok menempatkan Indonesia menduduki urutan kelima konsumsi tembakau tertinggi di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang dengan perkiraan konsumsi 220 miliar batang pada tahun 2005. Kemudian tiga tahun setelahnya yaitu tahun 2008, World Health Organization (WHO) menetapkan Indonesia memiliki “peringkat” yang meningkat menjadi urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India. Ini berarti Indonesia menduduki peringkat pertama di ASEAN dalam konsumsi rokok. FA Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau mengungkap berdasarkan data The ASEAN Tobacco Control Report tahun 2007, jumlah perokok di ASEAN mencapai 124.691 juta orang. Dan Indonesia menyumbang sebanyak 57.563 juta orang atau sekitar 46,16 persen. Teori psikologi menyebutkan kebiasaan-kebiasaan sehat sangat dipengaruhi oleh sosialisasi pada awal kehidupan, terutama pengaruh orangtua sebagai acuan untuk meniru (Hops, Duncan, Duncan, & Stoolmiller, 1996). Namun beberapa bagian yang terjadi di Indonesia adalah, orangtua tidak menjadikan momen meniru pada anak-anak sebagai cara untuk mengajarkan kebiasaan sehat, tetapi malah sebaliknya. Dilihat dari data yang ada 85,4 persen perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga, diantaranya anak-anak dan lebih dari 70 persen atau lebih dari 43 juta anak Indonesia serumah dengan prokok aktif. Angka ini berarti, sekian dari anak-anak Indonesia melihat secara langsung bagaimana orangtuanya, maupun anggota keluarga yang lain merokok di hadapannya langsung. Hal ini jelas bertentangan dengan kebiasaan sehat yang sebaliknya ada. Orangtua maupun anggota keluarga yang lain tentu tidak memberikan contoh yang baik bagi si anak. Mereka melakukan kegiatan merokok di dalam rumah, yang selain menyebabkan si anak menjadi perokok pasif yang sama-sama berbahaya bagi tubuh mereka, anak-anak juga menirukan atau menjadikan orangtua atau anggota keluarga mereka yang merokok tersebut sebagai seorang model. Anak-anak tersebut belajar mengobservasi dari orang-orang di sekitarnya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi anak dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan (Alwisol, 2009). Maka tidak heran sekarang mulai marak anak-anak Indonesia yang mulai merokok sedari kecil. Seperti yang dilaporkan oleh stasiun televisi swasta, balita yang saat ini berusia empat tahun dan bertempat tinggal di Malang, Jawa Timur. Mulanya ia mengonsumsi rokok sebanyak satu batang sehari sejak berusia dua tahun. Namun, kini ia sudah mampu menghabiskan setengah hingga satu pak rokok per hari. Berita lainnya dilaporkan Ardi Rizal, balita berusia dua tahun asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang menghisap 40 batang rokok setiap harinya. Hal ini sangatlah memprihatinkan karena dengan begitu, satu generasi di Indonesia akan hilang karena rokok, bahwasanya kesehatan mereka akan sangat terancam. Industri rokok juga terlihat tidak bertanggung jawab pada konsumennya. Bungkus rokok yang ada di Indonesia tidak dengan serius memberitahu bahwa rokok memang benar-benar berbahaya bagi konsumennya. Salah satu pendekatan untuk mengubah tingkah laku adalah dengan adanya rasa takut. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Kemasan bungkus rokok yang ada justru sama sekali tidak menimbulkan rasa takut. sebanyak 42,5 persen tidak percaya akan kebenaran isi peringatan kesehatan, 20 persen mengatakan tidak jelas, sedangkan 25 persen sudah tidak peduli karena sudah terlanjur ketagihan. Hal ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh beberapa negara di dunia dengan mencantumkan pictorial graphic tentang penyakit-penyakit yang akan timbul akibat mengonsumsi rokok. Suatu teori psikologi menjelaskan bahwa pesan persuasif yang terlalu banyak, mendatangkan ketakutan dan mungkin benar-benar merusak perubahan perilaku kesehatan (Becker & Janz, 1987). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa rasa takut saja mungkin tidak cukup untuk mengubah perilaku. Kadang-kadang takut dapat memengaruhi niat untuk mengubah kebiasaan (Taylor 2006). Hal inilah yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan mengharuskan para industri rokok memasang iklan dengan pictorial graphic. Hal lain yang membuat pemerintah Indonesia tidak benar-benar serius menanggulangi masalah rokok juga terlihat dalam Road Map industri rokok tahun 2007 hingga 2020 yang terbagi dalam tiga fase yang tidak benar. Pemerintah telah menetapkan Road Map industri rokok dengan fase pertama pada tahun 2007-2010 yang akan fokus pada tenaga kerja. Fase kedua pada tahun 2010-2015 dengan arah prioritas pada pendapatan pemerintah. Sementara itu, di fase ketiga pada tahun 2015-2020, pemerintah akan memprioritaskan kesehatan dengan penurunan kadar tar dan nikotin. Menurut teori yang ada, pemerintah melalui fasilitas kesehatan yang diberikan kepada masyarakat seharusnya menjadi tempat pengubah kebiasaan yang tidak sehat menjadi sehat. Namun dilihat dari fenomena yang ada, pemerintah lebih tertarik untuk meningkatkan kualitas ekonomi terlebih dahulu daripada kesehatan masyarakat. Ini juga terlihat dalam menaikkan biaya bea cukai tembakau rata-rata hanya sebanyak 15 persen yang ditetapkan pemerintah. Terkait dengan iklan pictorial graphic, pemerintah juga tidak menjadi penghubung antara masyarakat dengan kesehatan. Padahal, pemerintah dapat menetapkan undang-undang yang lebih baik agar media massa memberikan iklan yang lebih dapat menjaga perilaku sehat masyarakat untuk tidak merokok. Dengan pertumbuhan kesehatan masyarakat yang semakin meningkat bukankah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik? Dalam mengatasi masalah-masalah merokok tersebut, paling tidak dapat diselesaikan dengan salah satu teori psikologi yaitu teori pengkondisian klasik atau classical conditioning. Inti dari pengkondisian klasik adalah memasangkan sebuah refleks yang tidak terkondisikan (UR) dengan sebuah stimulus baru, menghasilkan refleks terkondisikan (CR). Sebelumnya, diandaikan pemerintah menetapkan ketentuan biaya bea cukai yang sangat besar pada rokok, yaitu 57 persen atau lebih. Jika direalisasikan untuk menanggulangi masalah konsumsi rokok salah satunya bisa seperti ini: Penetapan bea cukai rokok yang tinggi dapat menyebabkan perokok dapat mengurangi kebiasaan merokoknya atau bahkan menghilangkan sama sekali. Jika perokok mengeluarkan biaya terus-menerus dengan biaya yang mahal dapat dilihat masa mendatang keuangan akan semakin tipis. Kemudian stimulus untuk merokok dikondisikan dengan pengeluaran terus menerus untuk membeli rokok yang mahal, dan menghasilkan respon keuangan yang menipis. Pada akhirnya merokok dapat secara tunggal menjadi stimulus bagi keuangan yang menipis. Ini menjadi ketakutan sendiri bagi masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah karena kebutuhan hidup yang diperlukan banyak, tetapi keuangan yang ada tidak mencukupi. Dari gambaran ini, perokok akan berangsur-angsur mengurangi kebiasaan merokok untuk menghindari keuangan yang menipis. Pembahasan dengan menggunakan teori pengkondisian klasik ini juga dapat dikaitkan dengan peringatan bungkus rokok dengan menggunakan pictorial graphic bergambar penyakit-penyakit yang diakibatkan dari konsumsi rokok. Stimulus yang berupa pictorial graphic penyakit akibat rokok akan menimbulkan respon rasa takut pada seseorang, bahwa ia tidak ingin merasakan atau menderita penyakit tersebut. Kemudian setiap ia akan merokok, diberikan stimulus berupa pictorial graphic tersebut pada bungkus rokok. Dan setelah beberapa lama stimulus tersebut selalu diberikan, akhirnya merokok menjadi stimulus tunggal atas rasa takut bahwa seseorang tidak ingin menderita berbagai penyakit akibat mengonsumsi rokok tersebut. Dalam teori ini terdapat efek repetitif karena paling tidak akan dilihat 5.800-7.000 kali per tahun oleh perokok yang merokok satu bungkus per hari. Peringatan dengan gambar terbukti efektif di beberapa negara, seperti di Kanada sebanyak 44 persen perokok ingin berhenti, 58 persen perokok mulai memikirkan bahaya konsumsi rokok, 35 persen perokok pengetahuannya akan bahaya rokok meningkat, dan 17 persen perokok menyembunyikan bungkusnya karena tidak ingin orang lain melihat gambar peringatan tersebut. Di Singapura, 47 persen perokok menjadi lebih jarang merokok, 57 persen perokok mulai berpikir tentang dampak kesehatan, 71 persen perokok pengetahuannya meningkat, 25 persen perokok termotivasi untuk berhenti, 28 persen perokok mengurangi jumlah rokok yang dihisap, 14 persen perokok tidak merokok di depan anak-anak, 12 persen perokok tidak merokok di depan perempuan hamil, dan 8 persen perokok mengurangi rokok ketika di rumah. Di Thailand, 92 persen perokok ingin berhenti merokok, 62 persen perokok mengurangi rokok, 20 persen perokok mencoba berhenti merokok, dan 25 persen perokok tetap merokok dengan jumlah yang sama. Di Brasil, 54 persen perokok berubah sikap tentang dampak merokok setelah melihat gambar di bungkus rokok dan 67 persen perokok ingin berhenti merokok. Dampak lebih besar pada kelompok pendidikan dan pendapatan rendah. Selain itu menurut survei Health Promotion Board tahun 2004 sebanyak 47 persen perokok menyatakan mereka mengurangi konsumsi rokok setelah melihat peringatan kesehatan dengan gambar di kemasan rokok. Kemudian peran keluarga dapat dikaitkan dengan suatu penguatan, atau dalam psikologi disebut sebagai reinforcement. Keluarga tidak hanya membiarkan perokok tetap terjerumus dalam kebiasaan tidak sehat seperti itu, tetapi dapat menjadi penghubung kembali antara perokok dengan kebiasaan sehat. Penguat yang dapat dipakai sebagai hal penting dalam pengubah kebiasaan menuju sehat ini adalah berupa sesuatu yang disenangi atau tidak disenangi si perokok tersebut. Sesuatu yang disenangi misalnya setiap satu hari perokok tidak merokok sama sekali, anggota keluarganya misalnya membuatkan masakan kesukaannya khusus untuk dirinya sendiri. Namun jika dilanggar, yaitu tetap merokok dalam satu hari tersebut, maka diberikan hukuman sesuatu yang tidak disenanginya berupa tidak ada anggota keluarganya yang diperkenankan berbicara dengannya pada hari itu. Tentu ini akan berdampak besar pada perokok apabila reinforcement diberikan secara teratur, perokok akan perlahan mengurangi kebiasaan merokoknya bahkan menghilangkannya sama sekali. Begitu juga peranan teman kerja atau sejawatnya. Bagaimana? Mau berjuang melawan rokok? Ayo! Kita pasti bisa! Daftar Pustaka:
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Nainggolan, R.A. 1987. Anda Mau Berhenti Merokok? Pasti Berhasil!. Bandung: Indonesia Publishing House. Taylor, Shelley E. 2006. Health Psychology 6th Edition. New York: McGraw-Hill.
dan beberapa situs internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H