Mungkin bagi sebagian orang masih banyak yang menganggap sebelah mata profesi penulis. Entah itu penulis buku, maupun penulis blog. Karena untuk ukuran kemapanan seseorang, biasanya akan terlihat dari pekerjaan yang bukan berprofesi sebagai penulis.
Tentu, pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil masih menjadi primadona dan tolok ukur kesuksesan bagi orang tua yang mempunyai anak-anak yang berprofesi seperti itu. Bahkan, orang tua saya kerap kali masih menawarkan “Ada lowongan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) tuh, kamu gak mau ikutan?”dulu, saya pernah mengiyakan tawaran untuk mencoba melamar sebagai CPNS, satu kali saya mencoba melamar di Kementerian, dan satu lagi mencoba melamar di Instansi Pemerintah. Dan dua-duanya gagal.
Jujur saja, ayah dan ibu saya memang menginginkan anak-anaknya mendapat pekerjaan yang jelas dan mapan. Beruntungnya kakak kedua saya, telah membuktikannya sebagai seorang dokter spesialis. Untuk itulah, kedua orang tua saya masih membujuk saya, untuk mau ikutan lagi melamar sebagai CPNS jika lowongan CPNS tersebut telah dibuka. Saya pernah bilang ke mereka bahwa “Saya lebih cocok kerja sebagai penulis saja.”tapi kedua orang tua saya berkata “ya, pekerjaan apa saja itu terserah kamu, karena kamu yang menjalani. Kami sebagai orangtua, Cuma ingin kamu hidup mapan dengan kerjaan yang jelas.”
Tunggu, jadi profesi penulis itu bukan pekerjaan yang jelas masa depannya?
Hal ini, juga kerap kali menjadi bahan pertimbangan bagi anak perempuan yang memiliki calon suami sebagai seorang penulis. Bagi para orang tua yang memiliki calon menantu sebagai penulis kerap kali diragukan masalah “apakah jadi penulis itu penghasilannya tetap?” karena bagi para orang tua, profesi menantu idaman apabila bekerja sebagai PNS, tentara, dokter. Dan bukan sebagai penulis.
Gini, sebenarnya zaman sekarang ini, profesi penulis justru adalah profesi yang menjanjikan. Kenapa? Menjadi penulis, justru karya kita akan tetap ada, walaupun kita sudah meninggal nanti. “Ya tapi kan, saya gak berbakat jadi penulis. Mau nulis apa? Kalau sebentar-sebentar saya suka kehilangan ide kalau lagi nulis.” Itu jawaban dari temen-temen saya yang pernah saya ajakin buat nulis atau sekedar bikin tulisan yang asyik buat dibaca.
Kebanyakan, anak muda zaman sekarang tidak mau ambil peluang. Siapapun bisa menulis kok. Memang dua hal yang berbeda, “Suka nulis” atau “Bisa Nulis.” ambil contoh, siapa yang tidak kenal dengan Raditya Dika? Penulis buku terkenal dan karyanya sudah banyak diangkat ke layar lebar ini, asal mulanya dia menjadi penulis adalah, dia menulis berdasarkan pengalaman hidupnya.
Pengalaman ketika Raditya Dika masih duduk di bangku sekolah dasar, saat ia ‘menembak’ teman sekolahnya. Radit bilang “Mau gak jadi cewek gue?” dan Si teman perempuannya itu menjawab “Najis lo!” jadi hanya bermodal pengalaman hidup saja bisa dijadikan tulisan. Dan untuk buku yang berjudul "Cinta Brontosaurus" yang ditulis olehnya, idenya juga didapat dari pengalamannya. karena ia berpikir "Apa benar, cinta itu punya tanggal kadaluarsa?"
Dan lihat, berapa royalty dari buku-bukunya Raditya Dika sekarang? Menurut info, kurang lebih hampir 1 milyar sebulan. Sungguh angka yang fantastis!
Jadi, sebenarnya, tidak ada kata, “saya gak bisa nulis” “saya gak ada ide” tulisan itu hadir berdasarkan pengalaman, berdasarkan kegelisahan. Buktinya, pengalaman yang ringan-ringan seperti yang Raditya Dika tuliskan ke dalam sebuah buku, mendapat sambutan yang luar biasa.