Mohon tunggu...
Rachmah Dewi
Rachmah Dewi Mohon Tunggu... Penulis - DEW | Jakarta | Books Author | Certified Content Writer and Copywriter

Books Author | Certified Content Writer and Copywriter | Email: dhewieyess75@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Inilah Cerita Ramadan dari Para Mahasiswa Rantau di Jepang

28 Juni 2016   12:02 Diperbarui: 28 Juni 2016   19:21 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10 Hari Terakhir Ramadhan, kebanyakan masyarakat muslim sedang dilanda berbagai kesibukan. Ada yang sibuk I’tikaf di masjid guna mendapatkan malam Laylatul Qadr, ada yang sibuk bikin kue nastar atau putri salju, ada yang sibuk ‘tawaf’ di mall alias berkeliling-keliling mall buat nyari baju Lebaran, ada yang sibuk nukerin uang THR-nya buat dibagi-bagiin di kampung halaman, dan bahkan ada juga yang masih harap-harap cemas karena THR nya belum nyamperin ke ATM-nya.

Lalu? Bagaimana nasib anak-anak mahasiswa yang tengah merantau untuk melanjutkan studi pasca sarjananya di luar negeri? Bagaimana nuansa Ramadan mereka yang mau nggak mau harus jauh dari orang tua? Kebetulan, saya punya seorang sahabat karib yang tengah melanjutkan studi nya di Negeri Sakura. Iseng saya mengontaknya lewat chat. Dan saya banyak dapat cerita menarik darinya seputar nuansa Ramadan di negara Jepang tersebut. Tak hanya mendapat cerita darinya, bahkan ada dua orang temannya yang tak sungkan untuk berbagi cerita dengan saya lewat email.

Ternyata ada enak dan nggak nya juga berpuasa bagi anak-anak rantau yang merantau berbeda negara dari orang tua. Mungkin lain soal jika merantau hanya berbeda pulau saja misalnya Si Anak tengah berkuliah di Jogja sementara orang tua dan keluarganya di Jakarta. Jarak antar kota bukan menjadi penghalang yang berarti karena masih satu negara.

Gambar depan asrama mahasiswa-mahasiswi rantau di kota Gifu, Jepang | Sumber: Annisyia Zarina @icaaice
Gambar depan asrama mahasiswa-mahasiswi rantau di kota Gifu, Jepang | Sumber: Annisyia Zarina @icaaice
Menurut penuturan dari Ali, salah seorang teman dari sahabat saya tersebut, “Merantau jauh dari negeri sendiri dan orang tua untuk sebagian orang bukan masalah besar terutama yang saat SMA atau kuliah S1 sudah merantau di luar kota atau bahkan luar provinsi sekaligus, rasanya meratau di luar negeri masih sebelas dua belas dengan merantau saat kuliah S1 di Indonesia dulu, tapi perlu diakui butuh adaptasi yang lebih karena bahasa yang berbeda, adat istiadat yang beda, perubahan waktu siang dan malam, jadwal solat bagi yang muslim, banyak yang mesti didaptasi, tapi biasanya dalam waktu 1 bulan sudah bisa beradaptasi tapi terserang sindrom home sick sebentar. Tapi bagi yang pertama kali merantau mungkin lebih berat adaptasinya dan sindrom home sick lebih kuat melanda.”

Sumber: Nyunyu.com
Sumber: Nyunyu.com
Apalagi kondisi di negeri sakura saat ini bertepatan dengan musim panas yang artinya para mahasiswa-mahasiswi rantau disana berpuasa 16 jam atau 2 jam lebih lama dari pada yang di Indonesia. Rata-rata kendala bagi para mahasiswa-mahasiswi rantau tersebut adalah berat pada waktu menjalankan hari pertama karena adanya proses adaptasi perut yang kosong dan waktu yang lebih lama dari Indonesia. Namanya musim panas suhu rata-rata juga kadang menjadi tambahan kendala bagi yang merasa, soalnya kesibukan sebagai mahasiswa membuat waktu berjalan begitu cepat.

Sahabat saya di Jepang, mengambil program studi Food and Nutrition di Gifu University. Di mana untuk para mahasiswa-mahasiswi program studi ini kebanyakan melakukan penelitian di laboratorium. Sahabat saya bercerita, untungnya selama melakukan penelitian, tidak menjadi ajang yang berat, karena di ruangan selalu memakai AC yang full jadi mahasiswa-mahasiswi di sana tidak kepanasan

Nah tapi, Kendala selanjutnya adalah kelewat waktu sahur terutama yang single, ya karena nggak ada yang bangunin, paling dibanguninnya sama alarm doang hehe. Waktu sahur di Jepang tengah untuk tahun ini dikisaran pukul 03:00 AM, sedangkan kebiasaan baru tidur pukul 00:00 atau kadang ada yang lebih telat lagi tidurnya. Namun semua kendala tersebut bukan kendala yang berarti karena dalam waktu satu minggu sudah bisa teratasi.

Masakan yang dimasak oleh anak-anak rantau di asrama yang terletak di kota Gifu | Sumber: Annisyia Zarina @icaaice
Masakan yang dimasak oleh anak-anak rantau di asrama yang terletak di kota Gifu | Sumber: Annisyia Zarina @icaaice
Suasana saat berbuka puasa para mahasiwa-mahasiswi rantau di Jepang | Sumber: Annisyia Zarina @icaaice
Suasana saat berbuka puasa para mahasiwa-mahasiswi rantau di Jepang | Sumber: Annisyia Zarina @icaaice
Untuk di wilayah kota Gifu (Jepang tengah), Masjid Al-Islam atau sering disebut masjid Gifu memiliki tradisi yang unik, masjid setiap hari menyediakan takjil dan makan malam untuk jamaah masjid yang ingin berbuka di masjid dengan menu masakan dari Pakistan, sedangkan setiap hari minggu setiap komunitas menyervis jamaah yang berbuka dengan makanan khas negaranya, kami di bagi menjadi 4 komunitas besar, Arabian (Mesir), Pakistan, Bangladesh, Melayu (Malaysia dan Indonesia), jadi setiap hari minggu kami akan menikmati menu dari negara negara lain.

Menjadi mahasisiwa rantau, manajemen keuangan salah satu hal krusial yang mesti diperhatikan bisa bisa awal bulan kaya tapi akhir bulan merana. Pengeluran mereka dari bulan biasa ke Bulan Ramadan tidak ada perubahan, sama saja yang dibeli dan dimakan. Namun tentu perlu pengelolaan yang baik agar stabil sepajang hari.

Kebetulan sahabat saya beserta temannya adalah mahasiwa-mahasiswi penerima beasiswa di sana. Konon kabarnya, untuk yang beasiswa pas-pasan mesti berfikir keras untuk belanja bahan makanan tapi yang beasiswanya surplus bisa bebas memilih tapi harus hemat agar bisa nabung banyak. Tips untuk yang ingin belajar berhemat atau ekonomi sulit.

Teman saya mengatakan ada beberapa tips untuk berhemat bagi para mahasiswa perantau di 'negeri orang'yaitu:

  1. Sebaiknya memasak makanan sendiri. Makanan yang dibeli diluar sekali makan harganya itu bisa 3-5 kali lipat dari bahan mentah yang bisa kita olah untuk 3kali makan, selain itu bagi muslim kehalalan makanan yang di jual diluar masih besar diragukan kehalalannya. Dengan masak sendiri kita bisa menentukan makanan sesuka kita, dan insyallah halal 100%.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Lyfe Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun