10 Hari Terakhir Ramadhan, kebanyakan masyarakat muslim sedang dilanda berbagai kesibukan. Ada yang sibuk I’tikaf di masjid guna mendapatkan malam Laylatul Qadr, ada yang sibuk bikin kue nastar atau putri salju, ada yang sibuk ‘tawaf’ di mall alias berkeliling-keliling mall buat nyari baju Lebaran, ada yang sibuk nukerin uang THR-nya buat dibagi-bagiin di kampung halaman, dan bahkan ada juga yang masih harap-harap cemas karena THR nya belum nyamperin ke ATM-nya.
Lalu? Bagaimana nasib anak-anak mahasiswa yang tengah merantau untuk melanjutkan studi pasca sarjananya di luar negeri? Bagaimana nuansa Ramadan mereka yang mau nggak mau harus jauh dari orang tua? Kebetulan, saya punya seorang sahabat karib yang tengah melanjutkan studi nya di Negeri Sakura. Iseng saya mengontaknya lewat chat. Dan saya banyak dapat cerita menarik darinya seputar nuansa Ramadan di negara Jepang tersebut. Tak hanya mendapat cerita darinya, bahkan ada dua orang temannya yang tak sungkan untuk berbagi cerita dengan saya lewat email.
Ternyata ada enak dan nggak nya juga berpuasa bagi anak-anak rantau yang merantau berbeda negara dari orang tua. Mungkin lain soal jika merantau hanya berbeda pulau saja misalnya Si Anak tengah berkuliah di Jogja sementara orang tua dan keluarganya di Jakarta. Jarak antar kota bukan menjadi penghalang yang berarti karena masih satu negara.
Sahabat saya di Jepang, mengambil program studi Food and Nutrition di Gifu University. Di mana untuk para mahasiswa-mahasiswi program studi ini kebanyakan melakukan penelitian di laboratorium. Sahabat saya bercerita, untungnya selama melakukan penelitian, tidak menjadi ajang yang berat, karena di ruangan selalu memakai AC yang full jadi mahasiswa-mahasiswi di sana tidak kepanasan
Nah tapi, Kendala selanjutnya adalah kelewat waktu sahur terutama yang single, ya karena nggak ada yang bangunin, paling dibanguninnya sama alarm doang hehe. Waktu sahur di Jepang tengah untuk tahun ini dikisaran pukul 03:00 AM, sedangkan kebiasaan baru tidur pukul 00:00 atau kadang ada yang lebih telat lagi tidurnya. Namun semua kendala tersebut bukan kendala yang berarti karena dalam waktu satu minggu sudah bisa teratasi.
Menjadi mahasisiwa rantau, manajemen keuangan salah satu hal krusial yang mesti diperhatikan bisa bisa awal bulan kaya tapi akhir bulan merana. Pengeluran mereka dari bulan biasa ke Bulan Ramadan tidak ada perubahan, sama saja yang dibeli dan dimakan. Namun tentu perlu pengelolaan yang baik agar stabil sepajang hari.
Kebetulan sahabat saya beserta temannya adalah mahasiwa-mahasiswi penerima beasiswa di sana. Konon kabarnya, untuk yang beasiswa pas-pasan mesti berfikir keras untuk belanja bahan makanan tapi yang beasiswanya surplus bisa bebas memilih tapi harus hemat agar bisa nabung banyak. Tips untuk yang ingin belajar berhemat atau ekonomi sulit.
Teman saya mengatakan ada beberapa tips untuk berhemat bagi para mahasiswa perantau di 'negeri orang', yaitu:
- Sebaiknya memasak makanan sendiri. Makanan yang dibeli diluar sekali makan harganya itu bisa 3-5 kali lipat dari bahan mentah yang bisa kita olah untuk 3kali makan, selain itu bagi muslim kehalalan makanan yang di jual diluar masih besar diragukan kehalalannya. Dengan masak sendiri kita bisa menentukan makanan sesuka kita, dan insyallah halal 100%.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!