Mohon tunggu...
Rachmad Resmiyanto
Rachmad Resmiyanto Mohon Tunggu... -

Saya adalah guru kecil pada sebuah perguruan Muhammadiyah di kota Yogya. Saya bukan siapa-siapa. Tak ada yang istimewa dalam diri saya. Saat ini saya sedang menempuh program pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Gadjah Mada dan bekerja di bidang ekonofisika. Bidang ini merupakan pertemuan antara disiplin ekonomi dan ilmu fisika. Topik tesis saya adalah membuktikan bunga bank sebagai sistem yang destruktif dalam perekonomian dengan fisika. Saya dapat dihubungi melalui surat rachmadresmi [at] yahoo.com. Blog saya ada di http://rachmadesmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dari Rahim Sampai Kebahagiaan

7 Januari 2011   18:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perempuan merupakan manusia istimewa. Perempuan identik dengan kelembutan. Salah satu bagian tubuhnya punya nama yang sama dengan salah satu Asma al Husna, ar Rahim. Seolah Allah sedang menitipkan kasih sayangnya pada perempuan. Hanya kepada perempuan.

Dari rahim pula, manusia hidup bermula. Ia ada di kandungan selama 9 bulan 10 hari.  Ibu yang melahirkannya kemudian menyusui selama 20 bulan 20 hari. Semua genap 30 bulan lamanya. Di kandungan, biar dapat hidup manusia mendapat asupan makanan lewat darah ibu, merah berwarna. Selama disusui, manusia masih butuh darah ibu dalam wujud air susu ibu, putih berwarna. Al Quran mengabadikan perjuangan ini sebagai perjuangan yang sangat berat.

Menurut buku Api Sejarah, leluhur kita melestarikan warna merah dan putih ini. Tiap bayi lahir disambut dengan bubur merah dan bubur putih. Warna merah dan warna putih menjadi sakral di tanah kita. Pangeran Diponegara semasa mendirikan kekhalifahan di tanah Jawa, 1825-1830, juga pakai warna merah putih untuk bendera. Kini, bendera negara juga merah putih berwarna.

Merah darah dan putih susu merupakan kasih sayang ibu. Di saat kita terlahir, turutlah darah ibu tertumpah. Dalam lukisan pujangga muslim Wage Supratman, tanah air kelahiran disebut tanah tumpah darah yang menjadi tekad buat pandu ibuku. Kita suka menyanyikan lagu ini semasa kecil, lagu Indonesia Raya.

Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.


Inilah lagu kebangsaan kita. Lagu ini diperdengarkan kali pertama pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sejak itu, lagu ini selalu dijadikan pengobar semangat para pejuang republik. Saya tak sangka, dari rahim perempuan bisa sampai pada lagu patriotik milik negara. Dari kasih ibu sampai pada kemerdekaan. Kemerdekaan adalah puncak kebahagiaan.

Salam takzim buat para ibu.

Kayen Yogyakarta, 17 Muharram 1432 H/ 23.12.2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun