Mohon tunggu...
Rachmad Gempol
Rachmad Gempol Mohon Tunggu... -

ARTIKEL TERBARU : www.kompasina.com/gelandanganpolitik.......\r\n\r\nRachmad Gempol :Saya adalah seorang Gelandangan Politik (Gempol); Saya bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa, saya hanya orang biasa.RACHMAD YULIADI NASIR,\r\nRachmad For President,Siap-siap untuk menduduki kursi RI-1 (Presiden Republik Indonesia)\r\nEmail:rachmadgempol@yahoo.com;\r\nwww.rachmadforpresident.blogspot.com;\r\nwww.twitter.com/rachmadgempol;\r\nwww.facebook.com/rachmadgempol;

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada ke Depan Masih Rawan Politik Uang

4 Februari 2012   06:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JAKARTA-GEMPOL, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mestinya agenda rutin. Namun sekalipun rutin, potensi masalah tetap ada.  Harus diantisipasi agar tidak berubah menjadi bencana.  Empat diantara potensi masalah pilkada adalah daftar pemilih tetap, syarat pencalonan, pelaksanaan kampanye dan perhitungan perolehan suara.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan secara langsung oleh rakyat memang bukan pekerjaan gampang, selain besarnya dana yang diperlukan dalam rangka implementasi sistem yang dinilai demokratis, juga tingkat kerawanannya.  Sejak reformasi ada dua langkah besar yang terjadi dalam soal pilkada ini.  Pertama dari aspek para calon kepala daerah.  Kemudian aspek pemilih.

Sebelum reformasi, “bukan sembarang orang” dapat mencalonkan atau dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah.  Hanya mereka yang direstui oleh penguasa saja yang berkesempatan mencalonkan diri.  Tanpa restu itu, maka seseorang boleh berangan-angan saja menjadi penguasa disuatu daerah.  Kondisinya bukan hanya tidak demokratis tetapi juga sangat diskriminatif.

Atas dasar gugatan rakyat, negara kemudian harus mengalah.  Mandat untuk memilih yang tadinya ada pada para anggota Dewan diambil dan diserahkan kepada rakyat.  Demokrasi kita berubah menjadi demokrasi dengan pemilihan secara langsung.

Pilkada adalah suatu kegiatan rutin atas perintah undang-undang yang akan selalu berulang.  Mestinya semua lebih dewasa melaksanakannya. Ketua Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa money politic akan terus terjadi jika sistem pemilihan kepala daerah saat ini tidak diubah. Money politic menjadi persoalan klasik dalam sejumlah gugatan terkait pemilukada.Kalau sistemnya masih seperti ini money politic tidak akan bisa dihindari.

Money politic dibedakan berdasar asal uang yang digunakan. Ada money politic yang bersumber uang sendiri, ada pula yang merampok uang negara. Yang paling parah money politic itu mencuri uang negara. Itu yang banyak terbukti di MK. Jadi uang APBD itu digunakan untuk kepentingan pilkada.

Selain persoalan uang sistem pemilukada saat ini juga mengandung kelemahan lain, yaitu diskriminasi promosi. Misalkan pegawai yang tidak mendukung calon incumbent dipecat. Kalau mendukung incumbent, tapi incumbentnya kalah, dia dipecat lagi oleh yang menang. Itu kasihan. Kita perlu memikirkan sistem yang lebih baik.

Modus kecurangan Pilkada selalu meningkat kreativitasnya dari waktu ke waktu yaitu:
Pertama, kecurangan pemilukada yang hanya melibatkan kontestan atau orang yang bertarung. Misalnya calon perorangan yang memenuhi syarat dan kartu tanda penduduknya lengkap, ternyata KTP-nya mengambil dari bank, bukan dari dukungan dari yang bersangkutan. Untuk jadi nasabah bank kan harus menyerahkan KTP. Nah itu diambil semua, dipinjam ke bank, dibayar, lalu dianggap sebagai pendukung.

Kedua, melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pemilukada atau yang memenuhi syarat dicoret. Kalau memenuhi syarat dicoret kan tidak boleh berperkara ke MK karena tidak pernah menjadi peserta. Itu kecurangan model baru.

ketiga, melibatkan pemerintah daerah. Anggaran pemilu kalau tidak menguntungkan Pemda tidak akan dicairkan sehingga tidak terlaksana pemilukada.Karena sudah tiga tahun kami melakukan peradilan pemilukada, mestinya sekarang dipikirkan bagaimana mengatasi hal-hal seperti ini agar tidak terjadi akal-akalan terus.

Saat ini Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan 45 pemilukada karena curang. Lalu apa yang tidak batal itu tidak curang? Curang juga tetapi tidak signifikan misalnya money politics dan jika terbukti maka MK meminta polisi menghukum yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun