(Kompasiana.com-JAKARTA) Kota Jakarta tidak terasa sudah berusia 483 tahun. Untuk merayakan pesta tahunan ini, pemerintah DKI Jakarta mengadakan kegiatan tahunan Festival Jakarta Great Sale (JGS) yang diadakan APPBI (Assosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia).
Untuk menyambut HUT Jakarta ke-483 sekaligus mempromosikan wisata belanja di Jakarta, JGS disambut lebih meriah oleh banyak acara yang telah dan akan berlangsung ini selama sebulan.
Pembukaan Jakarta Great Sale sendiri telah dibuka sejak18 Juni 2010 oleh Gubernur DKI Jakarta fauzi Bowo. Dengan ditandai pesta kembang api di 33 mal lainnya secara serentak, hal ini guna memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI).
Di antaranya adalah Plaza Blok M, Atrium Mall, Senayan City Mall, dengan program utama festival diskon hingga 70% di setiap pertokoan, dengan harapan masyarakat tidak membeli produk-produk sejenis keluar negeri cukup dengan berbelanja di dalam negeri saja.
Selain itu masih banyak hal yang dilakukan oleh pemda DKI diantaranya, karnaval, beberapa festival, seminar dan lokakarya tentang kebudayaan Betawi, 5 kota DKI Jakarta juga telah mendapat Piala Adipura saat peringatan Hari Lingkungan hidup awal bulan Juni 2010, yakni: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan serta Jakarta Timur.
Berbicara Betawi saat ini masih terpinggirkan dan miskin, baik di sengaja atau tidak bahwa kerakusan pembangunan telah merusak sendi-sendi budaya Betawi, dan hanya segelintir saja kalangan betawi yang bisa menikmati pembangunan karena memang ada faktor kesempatan. masyarakat betawi ibarat orang pedalaman di tengah kota yang dianggap tidak layak dan karenanya tidak diperhatikan oleh pembangunan.
Perlunya pemberdayaan kalangan marginal tanpa diskriminasi dan sekaligus memberi perhatian kepada pemberdayaan kolektifitas budaya agar bisa bertahan menghadapi perkembangan teknologi.
Fakta bahwa DKI Jakarta memiliki 4 peran yang satu sama lainnya tidak dapat terpisahkan dan saling mempengaruhi sehingga ruang dan identitas politik warga Betawi harus terkait dengan keempat peran tersebut, yaitu DKI Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia, sentral ekonomi/bisnis nasional, kota pemerintahan serta sebagai kota komunal dimana berbagai komunitas hidup dan bekerja.
Tumpang tindihnya keempat peran DKI jakarta berakibat pada padatnya ruang publik dimana diskursus publik di dominasi oleh berbagai isu apakah internasional, nasional atau ekonomi berakibat sempitnya ruang publik bagi warga DKI Jakarta untuk mengangkat masalah yang terkait dengan keseharian warga DKI Jakarta sekaligus memberi ruang bagi munculnya pemimpin lokal untuk menjadi juru bicara mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H