(KompasianaBaru-Jakarta) Penyakit korupsi makin hari makin merajarela, dari jenderal hingga pengawai kecil sekarang melakukan korupsi, kasus korupsi terakhir yang membuat heboh Republik Indonesia adalah kasus Gayus H.Tambunan pegawai Dirjen Pajak golongan 3 A senilai Rp 25 Milyar.
Sekarang telah berkembang wacana hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan korupsi. Berbicara hukuman mati hingga saat ini, ada 50 napi yang menunggu eksekusi mati di LP Nusakambangan. Sementara itu, 52 napi masih menjalani hukuman seumur hidup karena berbagai kasus, seperti narkoba hingga terorisme, di kota Jakarta saja ada 1.900 napi yang belum mendapat ekstra vonis.
Banyak juga kalangan sebagai pendukung hukuman mati, salah satunya adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mendukung hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. "Coba dalam waktu dekat ini ada koruptor yang dihukum mati," ujar ketua MK "Saya setuju."
Hukuman mati dimungkinan karena sudah diatur dalam undang-undang. Seharusnya, pidana mati bagi korupsi itu bisa diterapkan dengan pertimbangan tertentu. Sekarang ini butuh keberanian dari penegak hukum. Keberanian hakim dan jaksanya untuk memutus dan menuntut bagi para koruptor tersebut. Kita ketahui kasus pidana mati baru siap dilaksanakan pada terpidana narkoba dan teroris.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pelaku tindak pidana korupsi memang dapat saja dijatuhi hukuman mati. Namun pelaksanaannya harus selektif sebab tidak semua koruptor layak diganjar dengan hukuman maksimal tersebut. Â "Tetap ada kriterianya. Kalau terpenuhi, maka pantas dia dihukum mati," kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas.
Ada  3 kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati; (1) Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat; (2) Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara; (3) Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi.
Undang-Undang yang berlaku yaitu UU NO. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan hukuman mati dapat dijatuhkan pada pelaku korupsi. Kriterianya korupsi uang negara dilakukan saat negara sedang dilanda krisis, bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Pelaku tindak pidana korupsi belum ada yang dijatuhi hukuman mati. Baik yang diputus perkaranya oleh Majelis Hakim Tipikor maupun pengadilan umum.
Hukuman mati mengancam koruptor. Hukuman maksimal itu bisa jatuh bila korupsi terjadi saat negara tengah dilanda krisis dan bencana alam. "Orang lagi susah, dia masih mengkorupsi negara," kata Menkum dan HAM Patrialis Akbar.
Ada 4 jenis kejahatan yang bisa dipidana hukuman mati; (1) kejahatan terkait bencana; (2) kejahatan teroris; (3) kejahatan narkotika; (4) kejahatan korupsi. Hukuman mati diberlakukan bila koruptor melaksanakan korupsi dalam keadaan negara krisis dan bencana alam. Hukuman mati yang berjalan di Indonesia sudah sesuai dengan Undang-Undang. Patrialis mencontohkan banyak yang sudah dieksekusi mati seperti kasus narkoba dan teroris. "Korupsi hingga hari ini belum ada unsur bahwa dalam keadaan krisis dan bencana alam," ujar Patrialis.