JAKARTA-Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie tak sepakat dengan revisi UU MK yang baru saja disahkan DPR. Ada yang tidak tepat dalam penafsiran ultra petita (penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta). Â Itu salah pengertian mengenai ultra petita. Itu hanya ada larangan di peradilan perdata, itu tidak relevan di MK.
Kelemahan MK dalam mengambil keputusan bisa diatur dalam perbaikan hukum acara. Bukan malah menghilangkan keputusan ultra petita. Itu ngawur, sejarah judicial review di dunia itu ultra petita didasarkan atas putusan yang membatalkan UU meskipun tidak diminta oleh pemohonnya. Kalau dia mau membatasi supaya MK jangan terlalu luas, terlalu merambah yang tidak merambah kewenangan, perbaiki hukum acaranya. Jimly setuju dengan perbaikan dalam pengawasan hakim MK. Perlu ada pengawas hakim, namun tidak perlu harus berasal dari unsur-unsur pemerintah, hakim agung, atau DPR.
Rumusannya sebaiknya bukan berasal dari tetapi diusulkan oleh. Misalnya satu dari presiden, satu dari mahkamah agung satu dari usul DPR, tidak harus anggota DPR nya. Itu bisa menimbulkan conflict of interest, jadi bisa orang lain. Revisi UU MK yang akan menggantikan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada beberapa kewenangan MK yang dipangkas seperti menghilangkan keputusan ultra petita. Dalam Majelis Kehormatan MK, selain dari internal MK, juga terdiri dari seorang anggota Komisi Yudisial (KY), seorang dari unsur DPR, seorang dari unsur pemerintah, dan seorang hakim agung.
Kalau keputusan lebih memangkas kewenangan MK. Terutama dengan ultra petita (penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta), seharusnya UU yang dibuat DPR ini lebih menyangkut pada kepentingan publik. Padahal MK sendiri memberikan obat peradilan Indonesia, mengapa harus dipangkas dengan kehadiran UU ini.
Salah satu isu sentral dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi adalah pelarangan membuat putusan ultra petita (putusan melebihi permohonan). Banyak pihak menyayangkan pelarangan itu, namun banyak pula yang mendukung. Putusan ultra petita bisa menimbulkan masalah, "Kalau soal permohonan diajukan, putusannya berkaitan dengan permohonan. Kalau putusannya di luar permohonan itu akan jadi masalah," kata Patrialis. Selain ultra petita, pembentukan majelis kehormatan hakim (MKH) MK juga mendapat sorotan. Ada yang berpendapat, anggota MKH MK sebaiknya tidak berasal dari anggota DPR.
Jimly tak masalah jika anggota MKH MK itu berasal dari anggota DPR. Alasannya, dalam rekrutmen hakim MK, anggota DPR diberi kewenangan mengajukan calon. Sehingga, secara logika, DPR berhak mengawasi hakim MK. "Lha wong hakim konstitusi dulunya dari DPR, sekarang mengapa DPR untuk masuk jadi MKH tidak boleh," kata dia. Ketika menjadi Ketua MK, dia sering dikritik Mahfud MD soal ultra petita. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Mahfud merupakan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. "Saya bilang nanti kalau Anda masuk jadi hakim MK, Anda akan tahu. Nanti You akan tahu apa itu larangan ultra petita," kata Jimly. "Nah, sekarang dia lebih banyak lagi ultra petita-nya daripada saya."
Jimly mengaku kecewa dirinya tidak dimintai pendapat dalam pembahasan revisi undang-undang MK itu. "Saya menunggu-nunggu ditelepon kok tidak ada yang telepon. Masa urusan pembalakan liar saya ditelepon, diundang kemari, kok UU MK tidak diundang sama sekali," kata Jimly. Beliau menyentil anggota Badan Legislasi yang dia nilai lebih suka studi banding ke luar negeri dar pada meminta pandangan pakar di bidang MK. "Jadi sekali lagi lucu DPR paling sering mengundang saya dalam semua urusan, tapi khusus MK dia malah senang studi banding. Pasti karena nggak mengerti apa-apa itu," kata dia.
Jimly menuturkan,"Sangat paham UU MK karena dirinya telah lima tahun menjadi Ketua MK. Dia pun merumuskan amandemen UUD 1945 mengenai MK dan merumuskan UU MK. Padahal waktu itu buku tentang MK tidak ada di Indonesia kecuali buku dia. Lalu selama di MK saya sudah menulis 15 buku tentang MK. Kok mereka tidak telepon saya. Malah saya ditelepon untuk urusan pembalakan liar yang sudah saya tolak." Jimly tidak mengkritik semua hasil revisi UU MK. Dia mengapresiasi DPR dan pemerintah terkait Majelis Kehormatan Hakim. Kalau itu sih, tidak apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H