Penulis : Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)
Pertaruhan keadilan kini berada dipundak Hakim yang akan mengadili terkait penganiayaan yang diterima Novel Baswedan (NB). Betapa publik tidak habis pikir, dampak cacat permanen yang diterima korban ditukar dengan satu tahun penjara atas tuntutan jaksa, terkesan jaksa punya bakat mempunyai kepribadian ganda dimana seketika waktu yang sama dapat memerankan fungsi penuntut umum dan fungsi pembelaan. Magisnya pengadilan kini dapat dijengkali oleh pikiran publik yang bertanya-tanya apa betul  pengadilan kini jadi ajang karya emas sutradara?
Pikiran publik tidak bisa di "nina bobo"kan, karena basis pikiran itu bersumber dari hati nurani dan nilai keadilan,  Konstitusi kita menyediakan kanal-kanal kebijaksanaan dan keadilan, ketika kanal keadilan sulit diakses dari pemerintah dan DPR maka  jalan terakhir kita berharap pada pikiran keadilan yang dimiliki oleh Hakim. Ketika pun kanal keadilan sudah pupus dari hakim maka wajar saja masyarakat akan membuat kanal-kanal keadilannya masing-masing.
Hakim tidak hanya berurusan dengan kepastian hukum namun kepastian hukum itu juga harus menciptakan keadilan dan sedapat mungkin mendatangkan kemanfaatan. Ketika semua itu sejalan maka publik tak sungkan menghibahkan segenap empatinya untuk  penegakan hukum di Indonesia. Namun lautan empati akan cepat mati apabila hakim sudah mengkebiri dirinya sendiri. Pengkebirian itu apabila hakim merasa dirinya hanya sebuah produk Undang-Undang yang akan juga memverifikasi keadalian dengan berlindung dibalik teks-teks yang mati.
Dari apa yang dituntut jaksa selama satu tahun terhadap terdakwa penyiraman air keras ke Novel Baswedan (NB) maka tidak semestinya hakim mengikuti alur pikir jaksa, karena hakim mempunyai alam pikirnya sendiri. Hakim mempunyai daya imajinasi yang otonom dan tentu tidak keluar dari core-core moralitas. Sememtara moralitas itu tidak jauh bersumber dari nilai Ketuhanan/Spiritual, nilai yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat artinya hakim dituntut untuk berpikir jernih untuk memutuskan sebuah perkara.
Masalah klasik saat ini, hakim selalu pada ruh dan kerangka Civil Law yang justru terpenjara didalam pagar yang dibuatnya sendiri  walaupun patut kita akui ada juga hakim-hakim mau menerobos kerangka itu demi merobohkan dimensi kaku sebuah teks hukum sehingga  terciptalah hukum baru yang lebih dekat dengan keadilan dan kemanfaatan. Dari itu dapat kita pelajari hakim tidak semestinya diperbudak oleh teks hukum namun hakim semestinya menjadi "tuan" dari hukum itu sendiri. Dengan kata lain manusia bukanlah untuk hukum namun hukumlah untuk manusia, aliran  hukum ini bersandar dari watak yang dikenal dengan aliran hukum Progresif yang digaungkan oleh Stjipto Rahardjo.
Baron Montesquie  pernah menyatakan hakim adalah terompet undang-undang bahkan jika sudah ada dalam sebuah undang-undang maka hakim tidak perlu berpikir lagi untuk menggali nilai keadilan, belakangan kita mengenalnya sebagai doktrin bahwa hakim adalah corong undang-undang. demikian halnya juga "watak" aliran positivisme yang menggaungkan hukum adalah perintah penguasa, maka hukum yang dibentuk diluar otoritas kekuasaan tidak bisa disebut sebagai hukum, jadi sama halnya kita menganggap bahwa hanya undang-undang yang disebut sebagai hukum dan negaralah yang merupakan satu-satunya sumber hukum.
Watak positivis diperkuat ajaran hukum murni yang digaungkan oleh Hans Kalsen bahwa hukum harus terlepas dari perangkat-perangkat yang tidak yuridis seperti etis, politis, sosilogis dan sejarah seperti halnya positivisme tidak memberi ruang bagi kebiasaan dan moral yang hidup ditengah-tengah masyarakat maka hukum harus dimaknai sebagaimana adanya dalam bentuk peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh penguasa. Jadi wajar saja jika terlalu menggaungkan positivisme dalam penegakan hukum akan terlihat hukum sebagai alat kepentingan kekuasaan.
Terkait  jaksa penuntut umum dalam persoalan korban NB, lihatlah alur pikir jaksa yang memang berjalan sesuai koridor positivisme-legalistik, mereka bisa berlindung dari sebagaimana adanya pilihan-pilihan tuntutan yang disediakan dari teks hukum itu serta jaksa sejatinya adalah perangkat negara yang tidak terlepas dari episentrum kekuasaan maka potensi-potensi benturan kepentingan bisa saja terjadi.
Berbanding terbalik yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa hukum itu bukan hanya peraturan melainkan ide, kultur dan cita-cita maka semsestinya hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. dari itu harapan hanya tertumpu pada hakim yang sangat mungkin menerobos sekat pada alur positivisme hukum.