Mohon tunggu...
Rachma Bhakti Utami
Rachma Bhakti Utami Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya. Menyukai tulis-menulis, jalan-jalan dan hunting tempat makan baru.. I love my life.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Piracy...Don't Do This!

22 Februari 2011   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:22 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jumlah orang yang menyukai dan berdaya beli sekaligus mau membeli sangatlah terbatas. Sementara jumlah orang yang menyukai, tak berdaya beli tapi sebetulnya mau membeli, lebih banyak. Hal mendasar inilah yang menyebabkan tingkat pembajakan di Indonesia sangat tinggi.

Data IDC (International Data Coorporation) atau lembaga research pasar menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara terbesar dalam tingginya tingkat pembajakan, setelah Cina dan Vietnam.

Kopian dalam bentuk media apapun, seperti kaset, CD, DVD, maupun MP3 yang dijual tanpa label PPN atau tanpa seijin pemilik hak cipta, maka disebut bajakan. Bajakan memiliki sifat ilegal dan melanggar hukum. Inilah fenomena yang sekarang sedang dan makin berkembang di masyarakat. Peredaran keping MP3, VCD, dan DVD bajakan di sudut-sudut kota semakin marak seiring pesatnya kemajuan teknologi di negeri ini. Sekeping MP3 bisa menampung ratusan lagu dari berbagai penyanyi ataupun grup musik.

Para pembuat dan penjualnya memang menolong banyak konsumen untuk tetap bisa menikmati kepingan-kepingan musik ini dengan harga yang sangat miring, karena hanya merogoh goceng untuk sekeping VCD, delapan ribu perak untuk DVD, dan sekeping MP3 dengan harga sepuluh ribu rupiah, konsumen sudah dapat menikmati VCD, DVD, atau MP3 yang kualitasnya tidak kalah dengan kepingan asli yang harganya puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.

Gara-gara pembajakan musik yang semakin 'gila' ini, jelas sangat merugikan pihak manajemen artis, pihak major label, serta pihak-pihak lain yang produksinya dibajak. Bahkan, kemajuan teknologi pun banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sekarang banyak dijumpai pembajakan via internet, dimana seseorang dapat memperoleh lagu hanya dengan men-download di internet. Hanya dengan membayar biaya internet seseorang sudah dapat mengoleksi lagu-lagu terbaru, tentunya tanpa harus membeli album baru tersebut.

Lebih gila, banyak masyarakat tidak mau tahu alias masa bodoh, apakah mengunduh via internet itu termasuk pembajakan atau tidak. Padahal, perlu diingat bahwa pembajakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini menyebabkan penjualan album fisikal pihak major atau pihak pencipta turun drastis. Terus menurunnya royalti membuat gemas beberapa manajemen artis, sehingga banyak manajemen artis yang lebih mengandalkan pemasukan dari konser-konser dan penjualan RBT (Ring Back Tone).

Beberapa bentuk protes pun dilancarkan oleh pihak manajemen artis atas maraknya pembajakan kaset dan CD yang seakan tidak bisa dihindarkan lagi, seperti yang telah ditunjukkan oleh group band Naif yang memilih untuk membagi-bagikan albumnya yang ber-title "Let's Go" secara gratis di pasar. Segala bentuk pembajakan itu merugikan, baik secara ekonomi maupun prestise pihak-pihak terkait. Tetapi bukan rahasia umum lagi jika fenomena pembajakan telah merajalela di Indonesia.

Konsumen yang kurang menghargai karya orang lain, akan berdalih dengan alasan ekonomi mereka cenderung membeli kepingan bajakannya. Padahal di Indonesia telah membentuk Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) sebagai payung hukum bagi pemilik-pemilik hak cipta. Indonesia juga merupakan negara yang melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

HAKI adalah hak dan kewenangan untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku,
Tapi, mengapa pembajakan di Indonesia sangat sulit untuk dihilangkan? "Sebenarnya kebudayaan di Indonesia sendirilah yang menyebabkan pembajakan terus ada. Berawal dari kebiasaan raja-raja Indonesia di masa silam, raja-raja jaman dahulu dianggap berwibawa bila rendah hati, akhirnya mereka tidak pernah mencantumkan identitas di setiap karya-karya yang telah mereka ciptakan." ucap Wuri Adriyani selaku dosen HAKI Fakultas Hukum Universitas Airlangga. "Terus-menerus berlaku kebiasaan seperti itu, hingga kini banyak kalangan pencipta yang rela karyanya terkenal tanpa menyebutkan identitas mereka sebagai pencipta." tambah dosen yang menjabat sebagai Lektur Kepala tersebut.

"Hal ini berbeda dengan budaya yang berkembang di luar negeri, sikap individual sangat mendasar di setiap masing-masing individu. Di setiap apa yang mereka ciptakan, pasti terpampang nama mereka yang mencipta." Dosen yang tengah menempuh pendidikan S3 tersebut juga menambahkan bahwa penanggulangan HAKI khususnya di Indonesia memang sangatlah rumit. UU dan penanggulangan pelanggaran HAKI itu belum cukup untuk mengatasi segala permasalahan pelanggaran HAKI.

Pengajar yang memiliki motto "berjuang terus menegakkan kebenaran ilmu hukum" ini juga menyarankan agar tiap-tiap pencipta membuat dan mengumpulkan dokumentasi sejarah pembuatan suatu karya dan mengumpulkannya pada Pemda setempat, jadi masing-masing daerah akan mempunyai karya yang berbeda-beda dan nantinya akan menjadi ciri khas daerah tersebut. Hal ini tentunya akan memperkaya karya-karya intelektual Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun