Mohon tunggu...
Rachma Ch. Subekti
Rachma Ch. Subekti Mohon Tunggu... -

a living creature who loves the world and life she live in.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pulau Tidung, Sebuah Catatan dari Laut Utara Jakarta

13 Juni 2010   04:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Didorong rasa kangen yang gila-gilaan sama laut (alam bawah laut, tepatnya) dan berhubung belum bisa ambil cuti, maka Tidung jadi solusi darurat sementara. Sebenarnya dari awal sudah ada ketakutan tentang "efek Jakarta" (baca : efek sampah) atas semua pulau di Kepulauan Seribu, termasuk Pulau Tidung. Tetapi hasil membongkar Kaskus, FaceBook, dan blog-blog menunjukkan bahwa semua orang merekomendasikan Tidung. Jadilah diniatkan tekad berangkat ke Tidung. Sembilan orang teman bersedia menjadi teman seperjalanan dan sepakat kumpul di Muara Angke pagi-pagi sekali. Sekadar info, tgl 28-Mei itu hari Jumat dan tanggal merah alias long weekend, dan Tidung juga sedang naik daun. Maka mendadak banyak sekali taksi keluar-masuk pelabuhan Muara Angke. Di dekat pom bensin berkumpul sejumlah besar anak muda. Wow... sempat muncul kekhawatiran penumpang-penumpang ini akan dipaksakan masuk ke kapal dan overload. Kalau naik metromini overload tinggal turun. Lha kalau naik kapal mau turun dimana?? Teman-teman yang duduk di atas mengeluhkan padatnya penumpang. Tapi kita yang duduk di bawah sesekali masih bisa bergantian meluruskan kaki. Tapi ya resikonya, selama 3 jam yang kita lihat cuma dinding kapal! :-( Saya rela menukar tempat duduk saya di bawah demi memanjakan mata dan merasakan angin laut di atas... [caption id="attachment_165231" align="alignleft" width="300" caption="Tgl 28-30 Mei ini pengunjung Pulau Tidung diperkirakan mencapai 2000 orang. Tidak percaya? Lihat saja sepeda-sepeda sewaan yang diparkir pengunjung di dekat jembatan cinta."][/caption] Untunglah semua berjalan lancar. Pagi itu cuaca cukup bersahabat, dan setelah 3 jam kami tiba di Pulau Tidung. Konon pengunjung long weekend ini diperkirakan mencapai angka 2000 orang. Maka untuk mengapresiasi para tamu yang memilih Pulau Tidung sebagai tujuan wisata mereka, pemerintah setempat menyelenggarakan sambutan sederhana. Welcome drink tersedia gratis sepuasnya. Kalau dipikir-pikir, kasihan sekali ya anak-anak kota... begitu haus akan alam. Maka setibanya di sana, tanpa mau berlama-lama di homestay, kami langsung berjalan menyusuri pulau. Ingat : berjalan, bukan bersepeda (karena kami kehabisan sepeda)! Rombongan kami memilih langsung bergerak menuju Jembatan Cinta yang menjadi landmark Pulau Tidung, dan menyeberang menuju Pulau Tidung Kecil. Awalnya jalan berombongan. Tapi kemudian satu per satu tercecer... satu  berjalan cepat di depan, satu berjalan santai di belakang, satu berhenti berpose dan berfoto, satu keluar jalur... masing-masing memilih caranya sendiri menikmati Pulau Tidung. Kekecewaan mulai muncul saat kami memilih keluar jalan utama dan berjalan menyusuri pantai. Sering sekali kami menemui plastik bungkus mie instan, sabun colek, plastik kresek... Tapi akhirnya kami menemukan pantai yang lumayan bersih dan mangkal di situ. Didorong keprihatinan dan rasa bosan, kami bermain air sambil memunguti plastik-plastik yang hanyut ke pantai kami. [caption id="attachment_165234" align="alignright" width="300" caption="Berpose dengan sampah di "pantai Bantar Gebang"."][/caption] Tapi ternyata sampah di pantai kami itu belum seberapa... di sisi lain pulau, SEGALA jenis sampah menimbuni pantai. Mau sofa? Ada.. Sepatu? Ada... Tas bermerek? Ada... Kasur buat tidur-tiduran? Ada juga! Pokoknya persis sampah bekas banjir. Masa sih sampah orang Tidung sebegitu buanyaak?? Atau ini sampah Jakarta yang terbawa arus dan mendarat di Pulau Tidung? Darimana pun asalnya, sampah itu tidak seharusnya berada disitu, apalagi setelah Pulau Tidung naik daun dan dikenal sebagai salah satu tujuan wisata yang favorit yang indah, murah, dan dekat dari Jakarta. Ironis sekali rasanya : disambut sebagai wisatawan, tapi di sisi lain tempat tersebut bukan seperti tempat wisata. Jika Tidung ingin tetap menjadi tempat tujuan wisata favorit, maka harus ada usaha dari pemerintah dan masyarakat setempat untuk membenahi pulau tersebut supaya tetap pantas menyandang predikat tempat wisata. [caption id="attachment_165238" align="alignleft" width="300" caption="Alam bawah laut Pulau Air dengan ikannya banyak dan cantik-cantik! Inilah spot snorkeling yang paling menghibur selama liburan di Pulau Tidung."][/caption] Tapi untunglah, kekecewaan hari pertama cukup terbayar di hari kedua. Tujuan utama saya ke sini adalah mencari spot snorkeling yang dekat dan gampang diakses dari Jakarta. Tujuan sampingannya : di Tidung ini saya bisa mencari-cari informasi bagaimana caranya mencapai perairan paling Utara Kepulauan Seribu yang sepengetahuan saya ditetapkan sebagai cagar alam laut. Penasaran saja... cagar alam semestinya masih asri dan indah, saya berharap airnya masih jernih dan ada spot snorkeling yang bagus. Tujuan sampingan tidak tercapai. Tapi tujuan utama lumayan lah... Hasil keliling-keliling Pulau Kotok, Gosong, Air, Payung, cukup menghibur hati. Walau airnya tidak begitu jernih, tapi alam bawah lautnya lumayan cantik dan ikannya buanyaak! :-) Inilah pertama kalinya saya berenang di antara ikan-ikan kecil yang cantik, dan rasanya menyenangkan! Recommended spot snorkeling : Pulau Air! Kalau kepepet butuh hiburan laut, spot ini cukup lumayan. Saran saya : kenakan baju renang yang tertutup. Di beberapa tempat ada banyak ubur-ubur kecil. Ukurannya memang cuma sekuku ibu jari, tapi sengatannya lumayan pedas. [caption id="attachment_165241" align="alignright" width="225" caption="Sunset di ujung barat Pulau Tidung. Setelah berjuang mencari sepeda sewaan, menempuh rute sempit berilalang, dihadang orang, akhirnya kami sampai juga ke ujung barat pulau, tempat terbaik melihat sunset, dan KETINGGALAN SUNSET!! Inilah sisa-sisa sunset... Tapi untung juga, karena sampah-sampah di pantai jadi tidak terlihat."][/caption] Bagi mereka yang gemar berburu sunrise, silahkan pergi ke bagian Timur Pulau Tidung (ke arah Pulau Tidung Kecil). Sedangkan sunset bisa dicari di bagian paling Barat pulau. Lebih baik gunakan sepeda untuk menjelajah sampai ke ujung Barat, dan jangan lupa membawa senter. Semakin ke Barat semakin jarang penduduknya, dan kalian akan harus melewati padang ilalang sebelum bisa mencapai area terbaik menikmati sunset. Lumayan juga kalau pulangnya harus bergelap-gelap melewati padang tanpa senter. Oh ya, Pulau Tidung ini, walau sudah berkenalan dengan dunia luar, nuansa agama dan norma tetap kental; dan mereka tidak ragu-ragu menolak tamu bila dirasa tidak sesuai dengan norma yang mereka anut. Sudah beberapa kali saya baca di forum-forum di internet tentang muda-mudi yang ditolak oleh homestay-homestay di Tidung. Dan ketika kami bersepeda melewati padang ilalang mengejar sunset di ujung Barat pulau, salah seorang teman sempat dihentikan oleh sekelompok orang berbaju koko. Mungkin mereka berpendapat anak-anak ini perlu  dikembalikan ke jalan yang benar, mungkin mereka berpikir ini waktunya sholat magrib, bukan waktunya bersepedaan. Tapi tentu saja penyampaian sebuah niat baik harus diiringi dengan cara yang tepat. Kalau tidak, bukan hasil A yang didapat, malah hasil Z; bukannya tergugah dan simpati, malah ketakutan atau bahkan jadi antipati. Namun di sisi lain, ada satu hal yang tentu tidak boleh dilupakan oleh para wisatawan pengunjung Pulau Tidung  : dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjungi. Kita harus menghormati norma dan adat tempat kita berkunjung. [caption id="attachment_165245" align="alignleft" width="200" caption="Beginilah kondisi jalan-jalan di Pulau Tidung. Dengan lebar jalan yang sempit ini, motor-motor tetap melaju kencang. Dan percaya atau tidak, di pulau sekecil ini, dengan jalanan sesempit ini, sudah beberapa kali terjadi tabrakan!"][/caption] Satu lagi tips dan trik berkunjung ke Pulau Tidung : hati-hati dengan sepeda motor! Di atas saya sempat menyinggung tentang "'efek Jakarta" yang menghantui Kepulauan Seribu. Kalau efek Jakarta yang pertama adalah sampah, maka efek Jakarta yang kedua adalah perilaku berkendara sepeda motor. Jalan-jalan di Pulau Tidung kira-kira selebar gang-gang di Jakarta dan terbuat dari conblock. Jalan-jalannya cukup rapi dan bersih, menyenangkan sebenarnya bersepeda santai menyusuri jalan-jalan itu. Tapi ya itu... bersepedalah selalu di pinggir, dan berhati-hatilah setiap kali mencapai persimpangan jalan. Walau jalanannya hanya selebar gang, pengendara motor di sana tidak ragu-ragu tancap gas dan bablas terus di persimpangan jalan. Konon sudah beberapa kali terjadi tabrakan di Pulau Tidung. Bisa kalian bayangkan : tabrakan di jalanan selebar gang?? Tidak mungkin menghentikan pengaruh Jakarta (dalam segala bentuknya) atas Kepulauan Seribu. Tapi pengaruh itu bisa disaring dan diambil hanya yang baik, kan? Akhir kata, perjalanan ke Pulau Tidung kali ini memang bukan wisata WAH yang membuat kami berdecak kagum. Tapi selama ada nilai yang bisa kita ambil dari sebuah perjalanan, maka saya pikir perjalanan ini cukup berharga untuk diabadikan dalam tulisan dan dishare dengan yang lain. Jadi, SALAM! :-)) (Pulau Tidung, 28-30 Mei 2010, foto dokumentasi pribadi Rachma) [caption id="attachment_165242" align="alignright" width="300" caption="Pemandangan dari dermaga Pulau Tidung di pagi hari"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun