Mohon tunggu...
Rachena Febriery
Rachena Febriery Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam "45" Bekasi

"God exalts the man who humbles himself," said Miguel de Cervantes (1547-1616).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjilat Es Krim

29 Agustus 2023   19:50 Diperbarui: 29 Agustus 2023   19:53 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa yang tidak padat penduduknya, secara spesifik kita akan mengarahkan pandangan kepada sepasang kawan yang tengah bersantai-santai di tengah hari yang panas. Ditemani dua gelas kopi hitam dan sebungkus rokok kretek di salah satu pos siskamling yang sepenuhnya dibangun dari kayu-kayu bambu. Pemuda kurus kerempeng dengan kumis tipis bernama Sunarto memang sering berdua-duaan di sini sepulang sekolah dengan kawan sebangku di SMAN Setiadharma yang lebih tampan darinya bernama Reza. Mereka lebih sering bincang-bincang ngalor-ngidul utamanya tentang berbagai kabar yang sedang menghangatkan telinga masyarakat. Perdebatan kadang-kadang tidak terelakkan kalau argumen dua orang itu berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar yang diyakini masing-masing. Sunarto selalu tampil dengan narasi, deskripsi, dan persuasi yang halus sedangkan Reza lebih frontal dengan ragam amunisi perbendaharaan frasa, istilah, dan kata yang sangat teknis.

Suatu hari mereka berdua, bersama-sama dengan teman-teman dan lingkungan masyarakat, dikejutkan dengan poster-poster film layar tancap nanti malam yang rencananya akan ditayangkan di halaman belakang yang luas rumah kepala desa. Menampilkan karikatur dua dimensi seorang perempuan berkerudung yang dengan dua lututnya mengambil posisi rendah di hadapan pria kekar perlente yang memegang es krim cokelat sejajar dengan selangkangannya. Judul film itu adalah "Tangis Maimunah" yang resensinya sempat dibaca secara utuh di salah satu koran nasional oleh Sunarto dan Reza. Tentang seorang gadis salehah tercantik di Kampung Sukaraja bernama Maimunah yang dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan anak pebisnis sawit kaya raya oleh karena terlilit utang dengan rentenir--sekaligus sebagai metode panjat kelas ekonomi tercepat. Suaminya bernama Deni yang hanya mencintai tubuh mulus Maimunah, tetapi tidak memperlakukan psikologi perempuan malang itu sebagai manusia dengan berbagai kekerasan verbal dan nonverbal atas setiap kesalahan yang konon diniatkan sebagai pendidikan dalam rumah tangga.

Keesokan hari setelah menonton filmnya, secara emosional Sunarto dan Reza sepakat dalam tiga hal: (1). Maimunah berhasil merepresentasikan kekejaman patriarkisme dengan dramatis, (2). Film "Tangis Maimunah" adalah tamparan keras untuk para lelaki bajingan dengan keberlimpahan uang dan kuasa--karena dalam film itu ternyata ibu Deni adalah pejabat pemerintahan di tingkat nasional dengan sokongan partai terkuat sejak presiden baru terpilih beberapa tahun lalu--yang otaknya diselundupkan ke dalam skrotum, dan (3). Maimunah memang super cantik karena dibintangi aktris sekaligus model yang sering menghiasi cover beberapa majalah dewasa langganan kepala sekolah SMAN Setiadharma--menurut gosip di sekolahan itu yang beredar bahwa kepala sekolah diam-diam adalah pribadi genit yang suka menggoda murid-murid cantik di sekolahnya. Namun, Sunarto dan Reza bingung apakah mereka harus berdebat tentang poster film itu yang secara implisit memperagakan salah satu adegan paling umum dalam hubungan ranjang manusia modern apalagi menampilkan sosok perempuan berkerudung yang dalam perspektif lain mewakili identitas masyarakat perempuan Muslim. Apakah itu termasuk ke dalam penistaan agama atau bukan? Sesungguhnya Reza lebih meyakini bahwa yang terpenting adalah esensi dari alur film itu yang mendobrak cara berpikir masyarakat awam serta pintu masuk untuk berpikir ulang tentang kesetaraan dan kesejahteraan gender. Sunarto angkat bicara bahwa promosi atau pemasaran dalam hal apa saja terutama dalam film tersebut harus dibarengi dengan kesadaran etis bahwa marwah perempuan Muslim harus dihormati dengan dijauhkan dari penggambaran atau ekspresi bahkan dalam berkesenian yang asusila. Tetapi mereka kembali diperdamaikan oleh satu dorongan yang lucu: keduanya tidak sabar untuk menantikan film-film lainnya yang akan dibintangi sang aktris apakah itu bertema keresahan sosial yang disarati adegan-adegan sensual atau justru seperti memvisualisasikan karya-karya Anny Arrow yang dahsyat itu.

Kabupaten Bekasi, 29 Agustus 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun