Mohon tunggu...
Rachel Rumiris Benedicta
Rachel Rumiris Benedicta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Law Student at Airlangga University

A student who is experienced in working with consistency and precision. Is ambitious and will try hard to achieve set goals.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Teknologi dan Cyberbullying: Menelusuri Tantangan yang Dihadapi Generasi Z di Era Revolusi Industri 5.0

4 Juni 2024   23:00 Diperbarui: 4 Juni 2024   23:20 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Revolusi industri yang dimulai di Inggris pada tahun 1760 – 1830 merupakan tombak permulaan eksistensi teknologi untuk mempermudah kehidupan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Revolusi Industri adalah perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun tenaga pemroses.

Seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan masuknya era Revolusi Industri 5.0 yang diresmikan pada tanggal 21 Januari 2019 sebagai resolusi atas Revolusi Industri 4.0, masyarakat mulai berinteraksi dengan teknologi baru untuk diintegrasikan dalam kehidupan mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan pengaruh yang besar kepada masyarakat. Perkembangan pesat dalam bidang teknologi telah membuka pintu bagi kemajuan besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Internet, media sosial, dan platform komunikasi digital lainnya menyediakan akses tak terbatas ke informasi dan konektivitas global. Namun, di balik manfaatnya, teknologi ini juga memberikan panggung bagi tindakan cyberbullying yang merusak.

Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa disingkat dengan ICCPR), terdapat beberapa Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh negara, salah satunya adalah kebebasan berpendapat. Adapun kritik terhadap kelompok atau orang tertentu termasuk kedalam tindakan yang dilindungi dibawah freedom of speech ini, namun perlu diketahui bahwa ada perbedaan signifikan diantara kritik yang membangun dan ujaran kebencian atau umum disebut hate speech. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik didefinisikan sebagai respons atau tanggapan terhadap suatu karya, pendapat, atau hal lainnya, yang kadang-kadang disertai dengan analisis dan evaluasi mengenai kebaikan dan keburukan. Kritik, dalam konteks ini, bisa berupa ungkapan lisan atau tertulis yang menanggapi sesuatu yang dianggap kurang memadai. Tujuan kritik adalah memberikan saran untuk perbaikan. Meskipun terkadang berbeda pendapat dan menimbulkan kontroversi, kritik pada dasarnya bermaksud mengarahkan sesuatu agar menjadi lebih baik. Kritik juga tidak mengandung unsur hasutan atau ajakan untuk membenci atau tidak menyukai sesuatu.

Di sisi lain, ujaran kebencian adalah bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan maksud untuk memprovokasi, menghasut, atau mencela individu atau kelompok lain berdasarkan berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnik, jenis kelamin, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Ujaran kebencian lebih bersifat mengajak atau merendahkan pihak yang dibenci, dengan tujuan untuk menimbulkan kebencian. Lingkupnya jelas terkait dengan perbedaan yang tidak umum, seperti perbedaan warna kulit, dan cenderung menimbulkan ketidaksetujuan atau kebencian terhadap pihak tersebut. Ujaran kebencian tidak berusaha membangun atau mengarahkan pihak yang dituju kepada hal yang lebih baik.

Memahami perbedaan antara kritik dan ujaran kebencian memang tidaklah mudah dan memerlukan pemikiran yang cermat. Secara sederhana, kritik bertujuan untuk memberikan saran untuk perbaikan tanpa ada niatan untuk membenci, sedangkan ujaran kebencian bertujuan untuk merendahkan dan menimbulkan kebencian terhadap suatu objek. Penting untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu kegiatan manusia, termasuk apakah itu kritik atau ujaran kebencian, dengan mempertimbangkan konteks dan tujuannya. Hal ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyalahgunakan kritik dan mengarahkannya sebagai ujaran kebencian agar dapat ditindak secara hukum.

Cyberbullying, sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian, merupakan bentuk intimidasi atau pelecehan yang dilakukan melalui media digital. Pesan-pesan beracun, komentar negatif, atau manipulasi foto dan video seringkali menjadi sarana untuk menyebarkan kebencian dan merendahkan martabat individu. Bagi Generasi Z, yang secara intensif terlibat dalam aktivitas online, cyberbullying dapat dengan mudah merusak reputasi dan kesehatan mental mereka. Beragam faktor dapat memicu perilaku cyberbullying: ketidakmampuan untuk memahami dampak kata-kata secara online, tekanan sosial untuk menjadi populer, dan kurangnya pengawasan dari orang tua atau pengajar adalah beberapa di antaranya. Selain itu, anonimitas yang diberikan oleh platform online seringkali memperkuat perilaku berbahaya ini.

Berdasarkan hasil riset dari Center for Digital Society pada tahun 2021, dari total 3.077 siswa SMP dan SMA yang disurvei, sebanyak 45,35 persen melaporkan pernah menjadi korban cyberbullying, sementara 38,41 persen siswa mengaku pernah melakukan tindakan cyberbullying. Selanjutnya, menurut data Unicef pada tahun 2022, 45 persen dari 2.777 anak di Indonesia menyatakan pernah menjadi korban cyberbullying. Data yang diperoleh oleh Pew Research pada tahun 2022 menjadi landasan jenis tindakan cyberbullying yang umum terjadi di masyarakat, hampir separuh remaja (49 persen) telah mengalami beberapa bentuk penindasan maya. Jenis penindasan maya yang paling umum dialami adalah pemanggilan nama yang menyinggung, dengan satu dari sepuluh remaja juga menerima ancaman fisik. Berikut adalah jenis-jenis spesifik cyberbullying yang paling umum di kalangan remaja:

  • Penyebutan nama yang menyinggung (32 persen)
  • Penyebaran rumor palsu (22 persen)
  • Menerima gambar eksplisit yang tidak diminta (17 persen)
  • Permintaan berulang mengenai lokasi atau keberadaan mereka (15 persen)
  • Ancaman fisik (10 persen)
  • Menyebarkan gambar eksplisit mereka tanpa persetujuan (7 persen)

Data yang disajikan menunjukkan bahwa masyarakat di era Revolusi Industri 5.0 ini masih belum mampu menggunakan media sosial dengan etika yang baik dan bijaksana. Situasi yang menyedihkan ini memunculkan satu pertanyaan bagi saya: Apakah sesungguhnya masyarakat sudah siap untuk menerima kemajuan zaman?

Dalam hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cyberbullying adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebelum adanya UU ITE, peraturan yang sering digunakan adalah Pasal 310 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait penghinaan dan pencemaran nama baik. Namun, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, penghinaan dan pencemaran nama baik yang diatur di dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP tersebut tidak dapat digunakan untuk perbuatan cyberbullying. Pada tahun 2016, diterbitkan peraturan baru terkait dengan ITE, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun sanksi bagi pelaku cyberbullying terdapat dalam pasal Pasal 45 ayat (3), yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”

Dewasa ini, sebagai kaum masyarakat yang lahir dan hidup di era kebergantungan akan teknologi, perlu adanya kesadaran dan kebijaksanaan yang tinggi akan penggunaan media sosial. Untuk mengatasi masalah cyberbullying, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak: orang tua, pendidik, pemerintah, dan penyedia platform teknologi perlu bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan dampak cyberbullying dan memberikan pendidikan tentang perilaku online yang aman dan etis. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai hukum yang berlaku di negara dalam menyikapi tindakan cyberbullying juga perlu ditegaskan, mengingat berlakunya asas “ignorantia juris non excusat” yang artinya “ketidaktahuan akan hukum tidak membenarkan” sehingga sanksi pidana akan diberlakukan bagi siapapun yang melanggar, tanpa memedulikan apakah masyarakat mengetahui hukum yang berlaku di negara atau tidak. Eksistensi hukum itu sendiri sebagai upaya preventif dan represif dari tindakan menyimpang di masyarakat diharapkan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Selain itu, implementasi kebijakan yang ketat dan efektif untuk mengatasi tindakan cyberbullying juga penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun