Di Indonesia sering kali terjadi konflik mengenai sengketa tanah yang berhubungan dengan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah. Salah satu contoh nya yatiu konflik sengketa tanah di Desa Pakel, Banyuwangi melibatkan antara masyarakat lokal dengan PT Bumisari Maju Sukses. Yang dimana masyarakat lokal mengklaim hak atas tanah yang telah dikelola oleh mereka secara turun-temurun dan pihak PT Bumisari Maju Sukses juga mengklaim Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah wilayah tersebut. Meskipun masyarakat lokal di Desa Pakel telah mengelola tanah tersebut dari lama, hak mereka tidak di akui secara hukum. Dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan hak atas tanah kepada PT Bumisari Maju Sukses melalui Hak Guna Usaha (HGU). Tetapi, ada bukti kuat bahwa Hak Guna Usaha (HGU) tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan merampas hak warga.Â
Petani yang bernama Muhriyono di Desa Pakel ditangkap pada Juni 2024 sebagai bagian dari konflik agraria yang berlangsung. Petani tersebut diduga terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap petugas keamanan PT Bumisari Maju Sukses, tetapi banyak orang menganggap penangkapan ini sebagai upaya untuk menakuti warga agar tidak memperjuangkan hak atas tanah mereka, karena surat perintah penangkapan baru dikeluarkan setelah penangkapan Muhriyono. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat muncul sebagai akibat dari proses hukum yang tidak adil dan tidak transparan.
Dalam hukum agraria, hak ulayat masyarakat adat diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960. Tetapi seringkali hak ini tidak diakui oleh pemerintah. Pemerintah mungkin memberikan izin kepada perusahaan yang terlibat dalam sengketa ini untuk mengelola lahan, tetapi izin tersebut tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Proses perizinan yang transparan dan melibatkan masyarakat lokal sangat penting untuk mencegah konflik. Sengketa tanah harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang adil. Jika masyarakat merasa hak mereka diabaikan, mereka berhak mengajukan gugatan di pengadilan. Untuk mencegah pengabaian hak-hak masyarakat, pemeintah harus memperkuat perlindungan hukum bagi masyarakat lokal, termasuk pengakuan hak ulayat.
Kasus sengketa agraria di Desa Pakel menunjukkan beberapa masalah penting dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Pemerintah harus serius menangani ketidakadilan dalam penguasaan lahan dan kelemahan sistem hukum. Untuk menyelesaikan konflik, tidak hanya diperlukan tindakan hukum, tetapi juga metode yang lebih terbuka dan didasarkan pada pembicaraan antara semua pihak yang terlibat. Proses penyelesaian sengketa yang adil perlu dikembangkan, baik melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi dan negoisasi, maupun jalur litigasi, dengan mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H