Teori normatif media adalah konsep yang membahas bagaimana seharusnya media massa berperan dalam masyarakat. Teori ini menyangkut aspek-aspek normatif yang mengatur etika, fungsi, dan tanggung jawab media dalam menjaga keteraturan sosial dan demokrasi. Dalam banyak literatur, teori normatif media mencakup empat model utama, yakni teori otoritarian, teori liberal atau kebebasan pers, teori tanggung jawab sosial, dan teori media pembangunan. Setiap teori memiliki pandangan yang berbeda mengenai sejauh mana kebebasan dan kontrol harus diberikan pada media, tergantung pada konteks sosial dan politik suatu negara.
Setelah Presiden Soeharto yang menguasai Indonesia selama 32 tahun tumbang pada 1998, muncullah reformasi yang berupaya menggantikan sistem Orde Baru yang dominan sebelumnya. Reformasi mencoba untuk menggantikan hegemoni politik dari otoriterisme kepada demokrasi yang menekankan pada kebebasan berpendapat. Reformasi memberikan arah baru Indonesia. Peneliti lain mengatakan mengatakan ciri yang menonjol dari reformasi itu adalah adanya kemerdekaan dan kebebasaan. Salah satu buah manis dari orde reformasi itu adalah kemerdekaan pers (Harahap, 2014)[1]. Media diberi ruang yang lebih bebas untuk mengekspresikan pandangan kritis terhadap pemerintah, yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, terdapat perdebatan apakah media massa di Indonesia masih memegang teguh peran normatifnya dalam mendukung demokrasi. Kebebasan warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi yang benar, akurat dan objektif pada hakikatnya merupakan bagian penting dari nilai demokrasi. Meminjam perkataan seorang sosiolog Perancis, [2] Alexis de Tocqueville, bahwa "informasi adalah oksigen demokrasi", maka media massa sebagai pilar keempat demokrasi berperan sebagai penyedia informasi secara terbuka, bebas, benar sekaligus objektif bagi masyarakat. Sayangnya, banyak pengamat menyoroti bahwa di era digital saat ini, media massa di Indonesia sering terjebak dalam kepentingan politik atau bisnis, sehingga sulit mempertahankan independensi. Kepemilikan media yang terkonsentrasi pada beberapa konglomerat besar menimbulkan kekhawatiran tentang keberpihakan dalam pemberitaan, terutama saat pemilihan umum dan isu-isu politik strategis.
Meskipun demikian, media sosial yang semakin populer di kalangan masyarakat juga memberikan ruang bagi jurnalisme warga, yang sedikit banyak membantu menjaga check and balance dalam informasi publik. Namun, keberadaan hoaks dan berita palsu menimbulkan tantangan baru bagi media massa untuk menjaga integritas dan tanggung jawab sosialnya. Dalam penilaian saya, meskipun media massa di Indonesia masih memainkan peran penting dalam demokrasi, ada tantangan besar yang dihadapi untuk mempertahankan peran normatifnya. Media perlu kembali ke tujuan awal, tanggung jawab sosial dan independensinya agar bisa mendukung demokrasi yang sehat dan berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Palupi, R., Irhamdhika, G., & Medianti, U. S. (2023). Karakteristik komunikasi media massa pada era reformasi. Jurnal Informasi dan Komunikasi Administrasi (JIKA), 21, Sinta 5. https://doi.org/10.31294/jika
[2]Deborah Potter dalam Jason R. Detrani (Ed.). (2011). Journalism: Theory and Practice, CRC Press, hal. 76.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H