Mohon tunggu...
Rizki Saputra
Rizki Saputra Mohon Tunggu... wiraswasta -

Meracau secara acak dari film, olah raga, politik, cinta, juga agama. Who am I? I'm a writer, scriptwriter, director, entrepreneur, and also born to love you. racauacak@wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Si Bisu yang Bersuara

25 Maret 2013   03:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:16 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Brilian, unik, dan tidak membosankan. Itulah tiga kata yang terlontar ketika pertama kali menonton film the Artist ini. Iya, saya memang tidak menonton di bioskop ketika pertama kali keluar di tahun 2011, karena saat itu saya berfikiran "buat apa menonton film yang notabene tidak ada suaranya dan tidak berwarna? Bukankah lebih baik mendownload atau menunggu tayang di HBO saja?". Maka menontonlah saya the Artist kemarin ketika tayang di HBO (saya lupa di HBO apa), dengan rasa "aaahh, akhirnya nonton juga." Sebenarnya ide cerita yang ditulis dan juga disutradarai Michel Hazanavicius (iya, saya harus googling dulu cara nulis namanya) ini cukup simpel, tapi dirajut dengan baik sekali hingga menghasilkan karya yang luar biasa keren (gimana nggak keren, lah wong film ini menang banyak banget penghargaan dari Oscar, BAFTA, Golden Globe, you just name it and this film is already won it). Dengan bekal award segitu banyak dan kenyentrikan film bisu dan hitam-putih ditengah-tengah jaman film modern ini, tentu saja the Artist akan dengan mudahnya menarik perhatian orang yang menontonnya. Film ini dimulai dengan memperlihatkan kemapanan seorang George Valentin, seorang aktor besar di tahun 1927, yang secara tidak sengaja bertemu dengan Peppy Miller yang kemudian mereka berdua menjadi headline tabloid karena telah berpose bersama. Ketidaksengajaan mereka pun berlanjut ketika Valentin dan Peppy tidak sengaja harus beradu akting dalam sebuah film (kala beradu akting Valentin sampe grogi dan take berulang-ulang loh). Semenjak kejadian itu, Valentin pun seperti memiliki chemistry dengan Peppy yang membuat Valentin pun membantu Peppy masuk ke insustri film. Cerita selebihnya adalah bagaimana Valentin, si bintang film bisu, yang perlahan redup karena kehadiran Peppy sebagai bintang baru untuk film bersuara yang mulai berkembang di tahun 1932. Yang saya salut dalam film ini adalah, pertama, film ini dapat menyampaikan maksud cerita, memperlihatkan emosi karakter, dan juga membuat penonton mengerti dengan jalan ceritanya tanpa harus menggunakan banyak dialog (kalaupun ada dialog ya menggunakan tulisan seperti film bisu). Itu merupakan tantangan tersendiri bagi seorang penulis skenario. Terlebih lagi, banyak dari penulis skenario yang dengan gampangnya menggunakan dialog untuk merunut kejadian, menjelaskan jalan cerita, atau bahkan memperlihatkan emosi karakter secara gamblang (kalo di sinetron tuh si karakter akan ngomong "saya marah" atau "setelah saya berbicara dengan dia, saya akan pergi" yang sebenarnya harus digambarkan melalui adegan, bukan dialog). Selain penulisan skenario yang oke dan penyutradaraan yang keren, akting dari Jean Dujardin (iya, ini googling lagi) yang juga memukau bikin kita enggan beranjak dan penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi pada George Valentin. Aktingnya juga terasa hingga ke hati ketika George Valentin yang sudah miskin harus menerima kenyataan kalau masanya sudah lewat, membuat saya pribadi tertegun ketika menyaksikan film ini. Akting hebatnya terbukti ketika Jean Dujardin berhasil memenangkan best actor di berbagai macam festival film. Dan yang terakhir adalah original soundtrack yang dibuat ala film klasik yang berhasil 'menemani' film ini hingga tidak sepenuhnya 'bisu'. Lagu-lagu yang mengalun cukup  membantu sekali kehadirannya agar penonton bisa ikut mengarungi emosi karakter dan juga mood dari adegan. Intinya the Artist ini merupakan pengalaman menonton yang baru untuk saya. Sebuah perjalanan menyusuri hitam-putihnya warna, ketiadaan dialog, dan permainan melodi lagu simpel yang memikat. Terlebih film the Artist ini berhasil mengalahkan banyak pesaing-pesaing film lainnya yang lebih berwarna, juga bisa bermain kata-kata, dan permainan musik yang mempesona. Maka tidak salah kalau saya mengatakan kalau the Artist ini merupakan Si Bisu yang Bersuara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun