Mohon tunggu...
Rabiatul Adawiah
Rabiatul Adawiah Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Nakes di pkm

belajar belajar dan terus belajar... - Purna Nusantara Sehat Team Based Kemenkes RI 2015, Puskesmas Balai Karangan, Kab. Sanggau, Kalbar - Penugasan Khusus Individu Kemenkes RI 2017, Puskesmas Biduk-Biduk, Kab. Berau, Kaltim

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mari Intropeksi Diri

22 Mei 2017   13:12 Diperbarui: 22 Mei 2017   13:17 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang seseorang ingin hidup damai dilingkungan sekitarnya. Tidak ada percekcokan, tidak ada selisih pendapat maupun hal lainnya yang membuat hati merasa tidak nyaman berada disekitarnya. Sejujurnya, semua orang menginginkan hal tersebut. namun apa daya, kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang kita inginkan itu menjadi kenyataan. Kenapa?? Karena kepribadian dan karakter sesorang berbeda-beda. Sama halnya ketika kita menjadi seorang pemimpin. memimpin beberapa orang, puluhan, hingga ribuan dan ratusan orang untuk menjadi satu pendapat dan satu kepala dengan anda.

Alhamdulillah, berkelana dan merantau menjadikan saya banyak melihat dan belajar dari kepribadian seseorang di sekeliling saya.

Ada seseorang yang ingin dianggap pintar dan cerdas, namun menggunakan orang lain sebagai “korban”nya. Ada juga suka cari muka dengan atasan dan orang lain yang baru dia kenal, berbohong dan berbicara yang tidak benar kepada rekan-rekannya, Ada juga yang terlihat pendiam dan patuh beribadah, tetapi sikapnya kurang mencerminkan ke hal-hal kearah positif. Ada yang pendiam dan lebih memilih cuek dan ada yang kerjaannya ngomong sana sini juga suka berselisih pendapat dan ada yang lebih memilih memendam daripada terjadi percekcokan.

Banyaknya perbedaan karakter juga mungkin bisa dikaitkan dengan budaya asal dan kebiasaan sehari-hari mereka. Karena sebenarnya kita tidak tahu persis bagaimana budaya yang diterapkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar mereka.

Ketika berhadapan dengan sosok karakter seperti itu, saya sendiri adalah tipe orang yang lebih memilih memendam dan sedikit-sediktit mengeluarkan rasa dongkol itu, karena masih berpikir supaya tidak terjadi percekcokan lagi, jadi lebih baik diam. Untung saja orang-orang disekitarnya tidak ada yang bermulut “pedas” yang langsung ceplas ceplos sana sini jika dia berbuat salah. Heuh...

yang paling tidak pantas lagi, ketika seseorang menjadi bermuka dua atau hari ini ngomong A besoknya B. Bagi orang-orang disekitarnya tentu akan merasa sangat tidak nyaman, apalagi jika tinggal serumah dengan orang-orang seperti itu. Hanya rasa sakit yang mesti di pendam. Apalagi waktu awal sudah pernah ditegur dan diberitahukan dengan baik permasalahannya, namun seketika marah dan merasa kita yang salah (tidak mau disalahkan). Menurut saya orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang tidak tahu diri dan masih memilik ego yang tinggi. Ketika orang-orang disekitarnya pun merasakan hal yang sama dengan saya, tidak banyak hal yang bisa dilakukan kecuali bersabar menghadapi kepribadiannya yang seperti itu. bukannya mau dibilang kalah ataupun menang melainkan karena jika ada kesalahan, dia tetap tidak mau menerima kesalahan yang dilakukan, malah kembali “ngomel” dengan orang yang memberitahukannya.

Semoga ada hikmah yang didapatkan bagi orang-orang seperti itu. Hadeuh... maafkan dah sedikit curhat yee. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun