Mohon tunggu...
Rabiatul Adawiah
Rabiatul Adawiah Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Nakes di pkm

belajar belajar dan terus belajar... - Purna Nusantara Sehat Team Based Kemenkes RI 2015, Puskesmas Balai Karangan, Kab. Sanggau, Kalbar - Penugasan Khusus Individu Kemenkes RI 2017, Puskesmas Biduk-Biduk, Kab. Berau, Kaltim

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Beban Kerja Lebih pada Tenaga Kontrak dan Insentif yang Kecil

3 Mei 2017   12:53 Diperbarui: 3 Mei 2017   13:02 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi rahasia umum bahwa insentif tenaga kontrak atau magang di Indonesia tidak begitu besar jika dibandingkan dengan tenaga tetap. Di beberapa tempat juga ada yang memberikan beban kerja lebih kepada tenaga magang dibanding tenaga tetap di tempat kerjanya. Padahal, dari hal-hal tersebut bisa saja menimbulkan kesejangan sosial antar tenaga kerja, apalgi jika dikaitkan dengan insentif yang didapatkan dari masing-masing pekerjanya.

Sebenarnya persoalan insentif dan beban kerja harusnya sudah dipikirkan matang-matang oleh pihak kantor sebelum merekrut tenaga kontrak sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pihak-pihak tersebut. Salah satunya dengan membuat peraturan internal tentang pembagian kerja tenaga magang misalnya ataupun bisa merujuk pada peraturan pemerintah mengenai hal tersebut jika memang ada.

Saya jadi teringat beberapa cerita dan pengalaman rekan saya  saat menjadi tenaga kontrak disuatu instansi. Menurut dia beban kerjanya cukup banyak dibandingkan dengan tenaga tetap. Tenaga tetapnya malah memiliki beban kerja yang lebih ringan, tugas yang tidak begitu banyak dan jarang disuruh sana sini. Yang lebih menyakitkan lagi ketika tenaga tetap  juga ikut “memanfaatkan” tenaga kontrak untuk pekerjaannya sendiri. As ussual, ketika sudah berada dilingkungan kerja, untuk mengelak ajakan tenaga tetap itu sangat sensitif dan bisa menimbulkan konflik sosial kedepannya. terlebih lagi jika kita tenaga kontrak yang masih baru. Sebenarnya hal-hal tersebutlah yang biasa membuat perselisihan sosial dan gejolak hati dari tenaga kontrak.

Dari beberapa kisah rekan saya, ada yang masih tetap bertahan dengan memendam kedongkolan dan ada yang rela melepas statusnya sebagai tenaga kontrak karena tidak tahan dengan hal tersebut.

Semoga dari pengalaman ini, masing-masing instansi dapat memikirkan hal-hal tersebut sebelum merekrut tenaga kontrak di tempatnya, sehingga kesenjangan sosial dari beban kerja dan insentif yang diterima tidak terjadi lagi di tempat bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun