"An-Nadhafatu Minal Iman" atau yang sering diartikan sebagai "Kebersihan adalah sebagian dari iman", adalah ungkapan yang tidak asing di telinga masyarakat muslim bahkan sangat familiar. Aku sendiri pertama kali mendengar hadis ini ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Guru agamaku mengajarkan bahwa menjaga kebersihan adalah salah satu bentuk keimanan kepada Allah.Â
Saat itu, aku hanya menerima apa yang diajarkan tanpa banyak bertanya karena wawasan tentang ilmu agama sangat minim dan terbatas. Pada waktu itu, pendidikan agama yang ku dapatkan hanya berasal dari Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Di TPA, pelajaran agama lebih berfokus pada tajwid dan membaca Al-Qur'an, bukan membahas hadis atau mendalami hukum-hukum Islam.
Namun, seiring berjalannya waktu pemahamanku tentang agama mulai sedikit berkembang. Saat Madrasah Tsanawiyah, aku bersekolah di madrasah dekat rumah. Orang tuaku belum tega melepas untuk mondok jauh. Meski begitu, mereka tetap menekankan bahwa pendidikan harus memiliki dasar agama.Â
Ayahku selalu berkata bahwa perempuan harus dibekali dengan dasar ilmu agama yang kuat. Oleh sebab itu, orangtuaku memilihkan Madrasah Tsanawiyah, bukan sekolah umum. Meski pada waktu itu aku ingin menolak karena sebagian besar temanku melanjutkan Pendidikan di SMP Negeri bukan MTs tapi aku percaya bahwa pilihan orangtua adalah yang terbaik untuk anak nya.
Awal Perjalanan Sebagai Santri
Keputusan untuk mondok adalah keinginan kuat orangtua, terutama ayahku. Sebagai seorang ayah yang penuh sayang dengan anak perempuannya, beliau selalu mengatakan bahwa perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Perempuan yang shalihah dan memiliki dasar ilmu agama yang kuat akan menjadi ibu yang dapat membimbing anak-anaknya di jalan yang benar.Â
Awalnya saya merasa berat jika harus melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Hidup di pondok pesantren berarti jauh dari rumah, keluarga, dan semua kenyamanan yang biasa aku nikmati selama bertahun-tahun dirumah. Di pondok tempatku belajar tidak mengizinkan santri membawa smartphone atau laptop. Hidup serba sederhana dan jauh dari teknologi modern.Â
Ada kalanya aku merasa ingin mengeluh kepada orang tua bahwa sebenarnya tidak betah tinggal di pondok. Tetapi, saya teringat biaya yang telah mereka keluarkan bukan jumlah sedikit.
Kehidupan di Pondok Pesantren
Hari-hari di pondok pesantren penuh dengan rutinitas yang padat. Pagi dimulai dengan salat Subuh berjamaah, dilanjutkan dengan mengaji Al-Quran yang menyejukkan hati. Setelah itu, Aku bersiap-siap untuk berangkat ke Madrasah Aliyah. Sepulang sekolah, jadwal di pondok kembali padat dan menyita waktu, harus mengikuti madrasah diniyah, dan mengikuti kegiatan rutin lainnya. Kehidupan di pondok juga mengajarkan untuk hidup sederhana. Tanpa adanya smartphone atau gadget, dan segala hiruk pikuk dunia.Â
Aku belajar untuk lebih fokus pada kegiatan yang bermanfaat. Salah satu pelajaran terbesar yang aku dapatkan di pondok adalah belajar bersyukur. Hidup dengan fasilitas yang terbatas membuatku lebih menghargai hal-hal kecil. Selain itu, juga belajar mengatur waktu dengan baik. Jadwal yang padat mengharuskanku untuk disiplin, karena antara kegiatan pondok dan sekolah, masing-masing sama sibuknya.