Sumber: twitter.com
Menegaskan kembali analisa saya sebelumnya, setelah berakhirnya perpanjangan kontrak eks fasilitator pnpm untuk tugas pengakhiran PNPM, maka tdk akan otomatis menjadi pendamping desa dalam konteks UU Desa.
Bagaimanapun juga, kader2 Marwan yg disiapkan unt perang pd Pemilu 2019 mau tidak mau harus bisa masuk. Ini adalah intruksi yang tidak bisa ditawar dan jalan satu-satunya adalah dengan menggeser eks fasilitator pnpm yg menjadi penhalang satu2nya.
Seandainya Kemendesa menyelenggarakan rekrutmen pendamping desa khusus bagi eks fasilitator pnpm setelah perpanjangan kontrak, sebagaimana tweet Plt. Dirjen PPMD, maka dipastikan itu hanyalah akal-akalan Marwan agar tidak disalahkan banyak orang. Semua itu tentu hanya kamuflase belaka sebagaimana seleksi Dirjen yg sekarang sedang berlangsung di Kemendesa.
Seleksi ulang eks Fasilitator PNPM, setelah sebelumnya diberi mandat selama 4 bulan unt tugas pengakhiran PNPM dan pendampingan desa adalah tindakan konyol. Alasan Pendampingan desa sebagai program baru yang berbeda dengan PNPM, semakin menambah lelucon. UU Desa itu PNPM Plus.Bagaimana mungkin Kemendesa sebagai pemilik asset PNPM (eks fasilitator) justru meragukan sedangkan kementerian lain saja mau mendayagunakan.
Tengoklah bagaimana Menteri PPN / Kepala Bappenas saja mau menggunakan eks PNPM sbg pendamping Program P2B. Kementerian PU pun demikian, eks fasilitator PNPM Perkotaan ditransformasikan langsung sbg pendamping Program Peningkatan Kualitas Permukiman diPerkotaan (P2KP-Kota). Kedua program itu adalah program baru diera Jokowi.
Kenapa Menteri PPN dan Menteri PU mau ambil SDM eks PNPM sedangkan Marwan sbg ahli waris PNPN tidak mau? Jawabannya karena Menteri Desa, Marwan itu politisi yang sarat dengan kepentingan kelompoknya, sedangkan Menteri PPN dan PU itu dr kalangan profesional. Kepentingannya hanya bagaimana program kementeriannya berjalan secara maksimal.
Pada tahap selanjutnya, kekonyolan Marwan yg meragunakn Eks Pendamping PNPM itu harus disokong dengan kekonyolan yang lain pula. Yakni membangun opini untuk meragukan kapasitas Eks Fasilitator PNPM namun tetap mengakui keberhasilan PNPM.
Akhir2 ini semakin banyak orang cerdas yang mengalami kesalahan silogisme sehingga menarik kesimpulan2 yg kontradiktif. Bagaimana mungkin mengakui keberhasilan PNPM namun mencela pendampingannya? Merka ini adalah orang2 baru dr kalangan LSM dan akademisi yang berhasil masuk dalam lingkaran Menteri. Juga satu dua dr internal PNPM yg sudah dicuci otak oleh kalangan pertama. Atas pesanan sang menteri, mereka mulai mempropagandakan analisa sesat tentang kegagalan pendampingan PNPM dengan jastifikasi tanpa didasari data yang memadai. Tanpa didahului riset, mreka menulis bualan ttg pnpm berjilid-jilid banyaknya.
Mereka yg sebelumnya tidak pernah tahu PNPM ini tiba2 sibuk menyalahkan pendamping PNPM yg cenderung CDD dan mengelu-elukan VDD ala UU Desa tanpa melihat hakikat pemberdayaan sebagai proses. Tidak tahu bahwa sejatinya mereka ini telah terjebak pada uforia teoritis belaka.
Ketahuilah. UU Desa dikonfigurasikan atas pengalaman2 baik di PNPM. Karena itu, keberadaan PNPM berikut fasilitatornya menjadi niscaya sebagai entry poin / batu loncatan dalam menapaki era UU Desa. Tanpa didahului dg PNPM, penataan desa ala UU Desa pasti akan berwajah revolusioner dan tidak akan bisa dioperasionalkan.
Ingat. Watak pemberdayaan itu bukan revolusi. Gerakan penyadaran butuh waktu dan kesabaran, apa lagi penyadaran terhadap masyarakat perdesaan yg msh cenderung feodalistik, baik dr sisi watak maupun pola kepemimpinannya yg anti perubahan.
Pola pendampingan pnpm tetap benar, krn ia sesuai dengan jamannya. Era pnpm memang sengaja mendesain penguatan perdesaan melalui masyarakat sipil. Apa salah jika kita menyentuh (membangun penguatan perdesaan) mulai dr masyarakat sipil? Tidak salah bahkan harus. Untuk mengikis model kepemimpinan feodalistik di desa, maka rakyat yg hrs kita kuatkan dulu. Krn sekarang bukan lagi era PNPM, maka salah besar jika menyoal apalagi menyalahkan pendampingan pnpm, kecuali untuk tujuan tertentu, yanki menyingkirkan eks fasilitator PNPM.
Jika Marwan ini kader PKB, Kader NU, Alumni PMII, maka dia akan paham, ada kaidah "alyaqin la yuzalu bissyak" (sesuatu yang sudah berbukti dan teruji itu tidak dapat dinafikan hanya dengan keraguan belaka). Eks fas PNPM telah ditempa pengalaman bertahun-tahun dan berhasil membawa program. Bagaimana mungkin mereka diragukan kemampuannya hanya untuk berakselerasi dalam pendampingan desa dan berbalik meyaqini SDM baru hasil rekrutmen yg jelas2 belum teruji dan terbukti? Dalam pendampingan desa, eks pnpm hanya butuh akselerasi sedangkan pendamping baru harus memulai dr nol.
Untuk mengingatkan Marwan agar tidak bertindak konyol, dibutuhkan advokasi. Organisasi yg menaungi eks fasilitator PNPM dituntut harus membangun gerakan yang lebih tegas. Jika anda merasa mendapat mandat dari anggota yg mayoritas eks fasilitator pnpm, maka beranilah bersuara. Jangn hanya diam.
Tidak ada perjuangan dlm sunyi. Kalo ada yg ngaku berjuang tp diam2, pasti itu bohong. Saya kira pengurus organisasi itu pasti paham bgmna advokasi kebijakan publik. Apalagi pemegang kebijakannya politisi macam Marwan yg kpentingan kelompoknya bgtu besar.
Kita tahu, Menkeu, Menpan RB, Menko PMK, telah bersepakat untuk mengoptimalkan SDM Eks PNPM sbg iantrumen penting dalam percepatan implementasi program pendampingan desa. Tinggal bagaimana mendesak Marwan agar lebih rasional dalam pengambil kebijakan. Disinilah pentingnya berorganisasi. Kalo organisasi ga jelas gerakannya. Bahkan takut bersuara, mending bubar saja.
Kesimpulannya, Seleksi ulang atas eks fasilitator pnpm adalah skenario sistemik dr Kemendesa unt memasukkan gerbong politik Marwan sbg isntrumen pemenangan pemilu 2019, bukan karena ingin menjalankan program kementerian secara profesional. Waspadalah..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H