Bencana itu kembali berulang. Dulu pesawat Adam Air yang menjadi korban. Kini, bencana serupamenimpa pesawat Air Asia; penerbangan yang dikenal paradoksal; murah namun andal dan tepat waktu. Keduanya hilang tak berjejak ditelan cuaca buruk. Namun, titik terang mulai muncul. Pada Senin siang hari ini (29/12) pukul 14.40 WIB muncul keterangan adanya genangan minyak disekitar perairan Tanjung Pandan. Malamnyapukul 21.00 WIB muncul laporan Nelayan yang mendengar suara debuman keras yang disertai gumpalan asap putih di Pangkalan Bun melalui stasiun TV One. Hal ini disusul pengakuan Bapak Freddy yang melihat pesawat bermoncong putih dan "bahu" merah terbang rendah di sekitar pantai Kubu, dekat Pangkalan Bun 0pada berita sekitar pukul 22.00 WIB.
Satu hal yang sangat disayangkan, pendekatan pencarian ini masih dilakukan secara konvensional: mengandalkan pencarian visual, teknologi sonar untuk identifikasi benda asing di kedalaman laut serta deteksi sinyal radiofrekuensi yang diudarkan pemancar pesawat. Belum pernah kita melihat teknologi forensik yang lebih luas dan dalam di aplikasikan dalam khasanah pencarian pesawat hilang. Misalnya, jenis genangan minyak harusnya bisa segera diidentifikasi; Apakah benar dari pesawat atau hanya tumpahan bensin kapal laut. Ada banyak teknologi yang bisa dipakai; sebagian diantaranya sudah distandarisasi American Society for Testing and Materials (ASTM) dengan fokus pada karakterisasi aditif, sifat penghantaran listrik dan hidrokarbon. Alat identifikasi yang dipakai mulai dari spektofotmeter yang tersedia di hampir semua lab kimia, hingga alat Forrier Transformation Infra Red Spectroscopy (FTIR) dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) yang lebih rumit namun tersedia dikebanyakan lab besar di universitas terkemuka. Dengan membandingkan bacaan sampel genangan minyak dengan bacaan avtur standar yang digunakan pesawat Air Asia, kita bisa melihat apakah keduanya merupakan sampel yang sama. Antara tempat pencarian Belitung dan Pontianak, seharusnya banyak universitas yang pasti memiliki ahli dan peralatan ini seperti Universitas Tanjungpura.
Pendekatan ilmiah forensik ini juga dapat dilakukan untuk melihat apabila ada kemudian ditemukan serpihan yang diduga potongan tubuh pesawat maupun bagian dari interior seperti kursi. Secara kasat mata, antara logam biasa dan material khusus A320 yang terdiri dari komposit karbon, kevlar dan fiberglass akan terlihat beda. Banyak pilihan teknologi yang bisa digunakan. Hanya saja pertanyaannya... apakah kita akan mendayagunakan semua alat canggih dan otak brilian Indonesia yang bisa membantu pencarian secara optimal? Sepertinya kita lebih suka berserah diri pada pendekatan lama.
Kini, pemberitaan hanya fokus pada derita para keluarga dan betapa beratnya upaya pencarian. Namun, tidak ada upaya liputan ilmiah membahas teknologi pencarian yang lebih akurat untuk membantu pencarian pesawat. Sayang saja, media Indonesia tidak nampak peduli pada kemauan mencerdaskan masyarakat dengan liputan yang bergizi, bukan sekedar tangisan, curhat dan komentar ahli semata. Ini tentu tak mengurangi simpati saya kepada korban.
Salam,
Raafqi Ranasasmita
Peneliti Lab Halal
Lembaga Sertifikasi Halal LPPOM MUI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H