Mohon tunggu...
Raafqi
Raafqi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Seorang penuntut ilmu

Ajang cerita dan berkisah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hikmah Kematian

31 Desember 2014   18:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:06 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak dari seorang rekan kami meninggal hari ini. Ia adalah anak satu-satunya curahan hati sang ibunda. Maka, kematiannya yang tiba-tiba akibat demam berdarah, kemungkin sudah sampai pendarahan dengue hemoragic fever, adalah sangat mengejutkan. Dalam kurang dari 3 hari masuk rumah sakit, dipindahkan ke ICU untuk kemudian meninggal. Sang bunda merasa bersalah karena tidak bisa mendeteksi dengan baik. Hal ini karena anaknya mengalami hambatan pertumbuhan mental sehingga memiliki kesulitan berkomunikasi meski sudah berusia 20 tahun. Saat berbincang usai pemakaman, ada satu kalimat duka yang terlontar, “Kini...untuk apa lagi saya berkerja (jika anak saya sudah tiada)?” Semua yang hadir pasti trenyuh. Dengan segala keterbatasan, anak itu kerap diajak sang bunda bekerja, bahkan hingga saat penugasan luar negeri seperti ke Cina. Sebelum tiba, ibunya akan memastikan lokasi ruangan kami kerja beserta denah jarak ruangan ke toilet, suhu setempat dan detail lain yang sekiranya akan membuat sang anak nyaman. Anda bisa bayangkan betapa sang ibu mencintai dan membanggakan anaknya ketika keluarga yang lain memilih menyembunyikan anak mereka dengan segala keterbatasannya.

Setiap orang yang ditinggalkan mati oleh keluarga terdekat memiliki hak untuk bersedih; termasuk untuk mempertanyakan lagi motivasi berkerja bisa sang motivator sudah tiada. Saya sangat memahami kehilangan ini karena baru saja memiliki anak pertama usia 5 bulan yang sedang lucu-lucunya. Membayangkan anak yang sudah diasuh selama 20 tahun kemudian meninggal tanpa pamit adalah suatu hal yang sangat membuat patah hati. Namun sesungguhnya motivasi itu tidak perlu redup. Ia hanya perlu digantikan motivasi lain yang sama kuat untuk tetap berkerja dan berkarya. Pertama, karena setiap yang hidup akan mati. Kapan terjadinya cuma masalah jatah dan semua orang sudah mahfum akan hal ini.

Selain itu, datangnya kematian seyogyanya bisa disikapi secara lebih positif, tanpa mengurangi empati pada sang mayyit dan keluarganya. Datangnya ajal seharusnya bisa dilihat sebagai berakhirnya penderitaan di dunia. Apalagi untuk anak dengan keterbelakangan mental, berakhir sudah segala cemoohan (jika ada), frustasi akibat tidak mampu mengungkapkan keinginan serta sebal karena badan tidak bisa dikomando dan sinkron sesuai perintah. Saya baru bisa memahami frustasi ini ketika berinteraksi dengan orang-orang manula yang secara pikiran masih bugar namun kondisi fisiknya menurun sehingga koordinasi gerak tidak begitu bagus. Pada kondisi ini sikap mereka terbagi dua, pertama yang bisa berdamai dan menerima kenyataan. Namun, banyak yang sulit menerima transisi ini dan masih ingin muda selamanya. Bagi yang kedua, mereka akan banyak minum obat, menjalani terapi alternatif serta menempuh segala cara agar mereka bisa kembali bugar seperti masa kejayaannya. Termasuk bertingkah seperti bos saat staf yang dulu manut sudah tidak ada dan hanya menyisakan keluarga dekatnya untuk disuruh-suruh bagai babu.

Pada kebanyakan anak dengan keterbelakangan mental yang pendiam, kita sulit menerka bagaimana sikap mereka: menerima atau menolak cobaan ini. Yang kita bisa tahu minimal penderitaannya di rumah sakit tidak terlalu lama karena begitu masuk ICU tak lama berselang ia meninggal. Anda bisa bayangkan betapa tersiksanya keluarga pasien dan pasien yang masuk ICU begitu lama namun tetap juga meninggal. Saat pernapasannya ambruk, ia dipaksa bernapas dengan mesin ventilator. Ketika tensinya terlalu tinggi atau rendah, pembuluh darahnya ditahan normal dengan obat-obatan yang diinfus. Saat jantung tak kuat lagi memompa, organ ini dipaksa berdenyut dengan kejut listrik. Belum lagi pada banyak kasus, pasien yang sembuh dan keluar dari ICU , belum tentu pulih sedia kala. Seringnya melihat, mendampingi pasien di ICU serta melihat “siksaan” terapi yang harus dijalani membuat saya dan istri sepakat di minggu awal pernikahan kami bahwa jika salah satu kami masuk ICU, kami tidak mau pakai ventilator kecuali peluang kesembuhannya dan pemulihannya memang tinggi. Pernah pada suatu fase, kami berusaha “mempertahankan kehidupan” nenek kami di ICU. Belum ada rasa ikhlas untuk melepas ia pergi. Apalagi saat awal ia sakit, saya termasuk yang merawatnya. Dulu, kakek kami ketika mengalami hal yang sama dan harus dibawa ke rumah sakit ternyata meninggal Hal ini membuat keluarga enggan merawatnya di rumah sakit. Maka saya dan istri bahu-membahu mengusahakan perawatan rumah untuk 2 hari pertama meski kemudian kami menyerah. Kami pasangkan infus meski ia mengerang kesakitan dengan tangan yang dikebas-kebaskan. Meski tidak tega, saya kuatkan diri saya untuk mengikat tangan beliau agar tidak banyak bergerak. Nah...diawal kami sungguh berharap beliau pulih sediakala. Mengajarkan merajut, membaca majalah Hidayatullah bersama meski usianya kebih dari 80 tahun, mendengar cerita mengenai masa perang Belanda dan Jepang yang mengaduk emosi, menerima pemberiannya setiap tahun baru dan lebaran serta mengulangi kisah-kisah manis yang pernah kami alami bersama.Berjalan perawatan hari ke tiga atau empat, kami melihat ia mulai masuk kondisi shock. Badannya mulai gemetaran, napasnya sudah tersengal dan berbunyi grok grok bagai orang flu dengan lendir banyak dan mulai menyeracau. Saat itu saya baru sadari keegoisan saya dan mulai bisa menerima jikalau beliau “pergi”.

Dalam pandangan islam sendiri, orang yang belum berakal belumlah punya dosa. Hal ini termasuk anak yang secara biologis sudah puber namun secara akan mungkin belum. Saya bayangkan, ia akan jauh lebih bahagia di alam baka menunggu masuk surga dibandingkan hidup di dunia yang penuh intrik dan marabahaya ini. Mereka yang tidak jeli dan awas akan selalu bisa menjadi korban.

Lantas, untuk apa berkerja jika sang motivator sudah tiada? Syahdan, ini saatnya untuk beralih. Move on. Ketika dulu hidup hanya terfokus pada anak tunggalnya, maka inilah saat untuk memperhatikan orang-orang lain yang kurang beruntung diluar sana. Orang-orang yang tidak diperhatikan, dilindungi dan dikasihi oleh orang-orang welas asih seperti sang ibu itu. Ini juga nasehat bagi kita yang mempunyai keluarga utuh namun alpa memperhatikan dunia di luar sana. Masih banyak janda yang membutuhkan uluran tangan agar anaknya bisa bersekolah dan makan makanan bergizi. Tentang hal ini, kebetulan saya dan teman-teman mendirikan yayasan sosial di Pasar Bogor. Diapit terminal dan pasar di pusat kota Bogor, ada pemukiman kaum marginal yang padat, kumuh dan memiliki segudang problematika sosial. Salah satu kasus yang membuat terenyuh adalah adanya janda dengan 4 orang anak yang tiga diantaranya sudah dewasa namun gila. Bayangkan, hidup di rumah dengan 3 anak gila. Anaknya bukan tipe yang liar, tapi tetap saja punya anak gila itu akan menyita perasaan dan perhatian kita. Selain itu, kita akan bertemu keluarga yang ibunya berkerja sebagai pemandu karaoke, yang bapaknya berkerja sebagai preman, yang anaknya kerap menjadi anak jalanan serta keluarganya centeng lokasi prostitusi terselubung. Kucuran uang atau kiriman sekarung beras tidaklah menyelesaikan masalah. Hal ini karena ketidakmampuan manajemen keuangan (atau lebih tepatnya) hidup sehingga kelebihan uang bisa saja dialokasikan untuk hal yang tidak tepat seperti membeli TV dan sound system baru. Ada juga yang habis untuk rokok dan minum-minum. Ketika kita kirimkan bahan makanan, mereka juga belum tentu menjadi makan makanan bergizi. Tetap saja gorengan menjadi langganan. Belum lagi cara masak yang salah, cara makan yang tidak higienis serta pengaturan pola makan yang tidak baik akan tetap terpelihara meski bahan makanan yang kita kasih sudah baik. Cuma sedikit yang sadar dan mengusahakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya, termasuk dalam hal keagamaan. Minim sekali keluarga yang memperhatikan perkembangan moral, akhlak dan daya juang anaknya untuk hidup dan meraih masa depan yang lebih baik. Pernah saat ada anak putus sekolah, kami tawarkan beasiswa yang kami lobi ke anggota dewan. Sang bapak menyerahkan keputusan ke sang anak dan si anak tidak mau sekolah sementara si bapak diam saja. Memfrustasikan sekali! Masyarakat seperti ini perlu ada orang yang terlibat dalam hidup mereka; mendorong dari belakang, menuntun dari depan dan mengarahkan agar taraf kehidupannya lebih baik. Sudah bukan masanya bagi kita semua untuk Cuma sibuk memikirkan keluarga sendiri. Lupa memikirkan bagaimana bisa turut meningkatkan kemakmuran keluarga lain. Dalam pandangan Barat seperti yang dimaktub buku Seven Habits, orientasinya adalah bagaimana kita punya karya yang bisa dikenang generasi setelahnya, khususnya anak cucu. Menjadi seseorang yang tidak begitu saja hilang setelah ditelan nama dan karyanya setelah kematian. Syukur-syukur dibuatkan plakat atau patung dada. Dalam orientasi muslim, sumbangsih ini selayaknya menjadi bekalan di akhirat kelak, supaya hisab diringkan dan masuk surga dipermudah.

Dengan pemahaman ini, semoga saja keluarga bisa lebih menerima kenyataan akan meninggalnya sang mayyit. Dengan memahami proses kematian, dampak dan cara mengatasinya, akan ada transisi fase berkabung sehabis musibah menimpa. dari fase penyangkalan dengan penolakan akan kepergian yang terlalu mendadak, hingga menuju fase acceptance (penerimaan) saat kenyataan ini sudah bisa diterima dan hikmahnya bisa diambil. Semoga Allah berikan beliau dan kita hidayah dan kekuatan menghadapi musibah.



Salam,

Raafqi Ranasasmita

31 Desember 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun