Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

Universitas Al-Azhar Mesir Konsentrasi Ilmu Hadis SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Ilmu Hadis dan Tradisi Kenabian Anggota MUI Kec. Biringkanaya Makassar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Paku

11 Oktober 2024   11:07 Diperbarui: 11 Oktober 2024   11:09 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan, kita sering kali dihadapkan pada pilihan untuk bekerja dengan sepenuh hati, memberikan yang terbaik meski terkadang, hasilnya tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Seperti paku yang terlalu menonjol di permukaan kayu, sering kali mereka yang berani berdiri lebih tinggi, berbeda, dan mencolok, akan menjadi sasaran perhatian. Sayangnya, perhatian itu tidak selalu berwujud apresiasi, melainkan pukulan dari palu---tekanan, kritik, dan kucilan dari atasan, atau bahkan rekan kerja.

Di dunia kerja, menjadi paku yang menonjol bukanlah hal yang mudah. Pekerja yang tekun, ikhlas, dan selalu berupaya maksimal seringkali menarik perhatian bukan hanya karena prestasi mereka, tetapi juga karena keunggulan mereka dianggap ancaman. Palu---yang dalam metafora ini diwakili oleh tekanan sosial dan profesional---datang untuk menundukkan paku tersebut, memastikan ia tak lagi menonjol, seolah-olah kesuksesan individu adalah ancaman bagi kesatuan.

Namun, dalam tekanan itu ada pelajaran mendalam. Ketika palu menghantam paku, bukan berarti paku itu lemah atau tak layak berdiri. Justru, semakin keras palu menghantam, semakin kuat paku tersebut tertanam. Ia menyatu lebih kokoh dengan dasar yang menopangnya. Begitu pula kita dalam kehidupan nyata, semakin banyak tekanan yang kita hadapi dengan sabar dan keteguhan, semakin dalam kita tertanam pada pondasi diri yang kuat---integritas, nilai-nilai, dan tujuan hidup kita.

Beberapa orang mungkin menunggu untuk melihatmu gagal. Mereka mungkin menikmati momen ketika palu menghantam, berharap bahwa setiap pukulan akan melemahkan semangatmu. Yang lain menunggu dengan sabar untuk melihatmu menyerah, merasa bahwa akhirnya tekanan itu akan membuatmu lelah. Namun, ada keindahan dalam filosofi ini: buatlah mereka menunggu selamanya.

Karena hidup bukan soal siapa yang paling cepat menyerah di bawah tekanan, melainkan siapa yang bisa tetap berdiri, bahkan setelah dihantam berulang kali. Bekerja dengan ikhlas dan terus memberi yang terbaik, meskipun sering kali tak dihargai, adalah tentang ketangguhan hati dan keteguhan diri.

Pada akhirnya, mungkin kita tak bisa menghindari palu kehidupan yang berusaha membuat kita tunduk. Tapi kita bisa memilih untuk tetap menjadi paku yang kokoh, yang meskipun sering dipukul, tetap tegak dan berfungsi sesuai tujuannya. Biarkan palu datang dan pergi---itu bagian dari proses. Tugas kita adalah tetap teguh dan membuat mereka yang menunggu kegagalan kita, menunggu selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun