Di tengah dinamika kebijakan ekonomi dan sosial di Indonesia, sering kali muncul ketidakpuasan publik terkait distribusi keadilan. Salah satu contoh mencolok adalah perbedaan perlakuan terhadap anggota DPR dan pekerja biasa. Anggota DPR yang sudah memiliki gaji tinggi tetap menikmati tunjangan besar, sementara pekerja di atas UMR diwajibkan berkontribusi melalui potongan gaji untuk program TAPERA, yang belum tentu memberikan manfaat langsung bagi mereka. Ketimpangan ini menggugah pertanyaan: Apakah kebijakan semacam ini adil? Melalui kacamata teori keadilan distributif, artikel ini mencoba menelusuri ketidakselarasan kebijakan tersebut dengan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Untuk memahami fenomena ketimpangan ini, kita bisa merujuk pada teori ketidakadilan distributif (distributive justice), yang diperkenalkan oleh filsuf John Rawls. Dalam teorinya, Rawls menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi sumber daya, di mana setiap kebijakan atau keputusan harus memberikan manfaat maksimal bagi mereka yang paling kurang beruntung. Dalam konteks ini, kita bisa bertanya: Apakah kebijakan tunjangan besar bagi anggota DPR dan pemotongan gaji bagi pekerja sejalan dengan prinsip keadilan ini?
Teori ketidakadilan distributif Rawls menyarankan bahwa keputusan-keputusan ekonomi dan politik harus memperhatikan mereka yang berada di posisi paling lemah dalam masyarakat. Jika kita lihat situasi di Indonesia, ketimpangan yang ada justru memperlihatkan sebaliknya. Anggota DPR yang sudah memiliki gaji besar dan akses luas ke sumber daya, mendapatkan tunjangan tambahan yang sangat besar, sementara pekerja menengah dan bawah harus rela dipotong gajinya untuk sesuatu yang belum tentu bisa mereka nikmati dalam waktu dekat.
Teori ini mengingatkan kita pada pentingnya 'prinsip perbedaan' (difference principle), di mana Rawls menegaskan bahwa ketidaksetaraan hanya bisa diterima jika itu membawa keuntungan bagi mereka yang paling rentan. Namun, apakah tunjangan besar bagi anggota DPR bisa dikategorikan membawa keuntungan bagi rakyat? Bukankah ini justru memperlebar jurang ketidakadilan yang ada?
Selain itu, ada juga teori kontrak sosial yang relevan untuk dijadikan kerangka berpikir dalam menelaah isu ini. Menurut kontrak sosial, masyarakat secara implisit telah menyepakati hak dan kewajiban yang adil antara individu dan pemerintah. Dengan demikian, muncul pertanyaan besar: Apakah kebijakan seperti ini sesuai dengan kontrak sosial yang diidealkan masyarakat, di mana pemerintah seharusnya memastikan kesejahteraan rakyat melalui pembagian sumber daya yang adil?
Jika kita membandingkan situasi ini dengan teori-teori tersebut, jelas ada pertentangan antara praktik yang terjadi dengan prinsip-prinsip keadilan yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik. Dalam teori ketidakadilan distributif dan kontrak sosial, rakyat seharusnya berada dalam posisi yang mendapatkan perlindungan maksimal, sementara ketidakadilan seperti ini justru melemahkan legitimasi negara dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat luas.
Dengan menggunakan kacamata teori ini, semakin jelas bahwa kebijakan yang berlaku saat ini tidak hanya merugikan pekerja, tetapi juga menantang prinsip-prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial. Masyarakat berhak menuntut kebijakan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan bersama, terutama bagi mereka yang berada di posisi paling rentan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi kebijakan yang memastikan distribusi sumber daya lebih adil dan selaras dengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang melindungi setiap lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang sudah diuntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H