Di tengah gempuran arus kapitalisme yang kian menguasai dunia kerja modern, ide untuk bersikap malas---sebuah keadaan yang seringkali dicap negatif---menjadi sebuah gagasan yang layak ditinjau. "The Right to Be Lazy" pertama kali dicetuskan oleh Paul Lafargue, seorang sosialis sekaligus menantu Karl Marx. Lafargue dengan lantang menyuarakan bahwa pekerja seharusnya memiliki hak untuk menikmati waktu santai dan rehat tanpa harus dibebani stigma atau konsekuensi.
Namun dalam realitas sistem kapitalisme saat ini, justru sikap malas diidentikkan sebagai kekurangan yang merugikan. Fenomena ini, di mana pemujaan terhadap produktivitas menyisakan sedikit ruang untuk rehat yang wajar, telah menciptakan distorsi besar dalam pandangan terhadap etos kerja, khususnya bagi para pekerja.
Mengapa "hak untuk malas" perlu dimiliki pekerja? Kapitalisme sering kali mengagungkan kerja keras, bukan untuk kesejahteraan pekerja, melainkan sebagai sumber utama keuntungan bagi pengusaha. Di sisi lain, para pengusaha, pemilik modal, dan pemangku kepentingan di perusahaan kerap memiliki "hak untuk malas" yang implisit. Misalnya, seorang pemilik perusahaan yang menghabiskan waktu bersantai, bermain golf, atau berlibur tanpa perlu khawatir kehilangan pendapatan; sementara di waktu yang sama, para pekerjanya harus tunduk pada jadwal ketat, target harian, dan tuntutan produktivitas yang tinggi.
Kapitalisme dan Pengorbanan Kaum Pekerja
Bukti nyata dari ketidakseimbangan ini dapat dilihat pada kondisi pekerja swasta dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Misalnya, di sektor swasta, pekerja sering kali dikejar dengan target-target ambisius yang memaksa mereka lembur tanpa tambahan waktu luang yang layak. Demi memenuhi ekspektasi yang dibentuk kapitalisme, mereka tidak hanya kehilangan waktu bersantai, tetapi juga terkuras fisik dan mentalnya. Sementara itu, hak-hak dasar seperti waktu istirahat cukup atau cuti panjang justru sulit mereka dapatkan.
Di kalangan ASN pun, meski ada waktu kerja yang terstruktur, tuntutan administratif dan tekanan atas loyalitas serta kepatuhan pada kebijakan yang berubah-ubah seringkali membebani mereka. Tekanan ini semakin menjadi ketika gaji dan tunjangan yang mereka terima tidak selalu sebanding dengan upaya dan pengorbanan yang dituntut. Beberapa dari mereka justru merasa hak istirahat mereka terbatas karena kebijakan-kebijakan yang menuntut kedisiplinan ekstrim tanpa mempertimbangkan hak atas rehat.
Di sisi lain, kapitalisme menciptakan ketimpangan dengan menempatkan produktivitas sebagai tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan seseorang. Para pekerja yang terjebak dalam etos kerja yang serba cepat, jarang diberi kesempatan untuk merasakan rehat atau kemalasan sebagai hak. Hal ini berbanding terbalik dengan kebebasan yang dimiliki para pemilik modal yang memiliki keleluasaan untuk "malas" tanpa konsekuensi.
Memaknai Hak untuk Malas sebagai Penyeimbang Kehidupan
Hak untuk malas, sebagaimana dipahami Lafargue, bukanlah ajakan untuk tidak produktif, melainkan hak untuk beristirahat tanpa tekanan atau rasa bersalah. Ini adalah penyeimbang alami agar manusia tidak melulu dinilai berdasarkan produktivitas material. Filosofinya terletak pada pemahaman bahwa rehat dan waktu untuk bersantai adalah kebutuhan yang manusiawi dan esensial dalam menciptakan keseimbangan antara bekerja dan beristirahat. Hal ini bahkan lebih relevan dalam era modern di mana berbagai tuntutan seringkali menguras energi emosional dan mental.
Kapitalisme memang memberi keuntungan materi yang besar bagi pengusaha, namun sering kali dengan mengorbankan kualitas hidup para pekerja. Para pekerja berhak mempertanyakan, mengapa "kemalasan" hanya dapat dinikmati mereka yang berada di posisi atas? Filosof Yunani, seperti Aristoteles, pernah berpendapat bahwa kemalasan bukanlah hal yang salah, melainkan kesempatan untuk memelihara keseimbangan jiwa dan raga. Dalam skala yang lebih luas, memberikan hak untuk rehat atau malas bukan berarti menghambat produktivitas, tetapi justru mempertahankan kesejahteraan jangka panjang yang memberi manfaat bagi semua.
Kapitalisme dan Derajat Kebahagiaan Pekerja
Sistem kapitalisme pada dasarnya memang menawarkan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi para pemilik modal, tetapi sering kali dengan harga yang harus dibayar oleh para pekerja. Mempertimbangkan hak untuk malas berarti memperjuangkan nilai-nilai manusiawi yang tak ternilai: waktu bersama keluarga, keseimbangan kesehatan mental, dan hak untuk menikmati hidup tanpa tekanan terus-menerus. Dalam hal ini, kapitalisme perlu menelaah kembali konsekuensinya dalam kehidupan sosial pekerja, dan apakah pengagungan produktivitas yang berlebihan sepadan dengan apa yang dikorbankan oleh mereka yang menopang fondasinya.
Hak untuk malas bukan hanya perihal individual, namun juga berdampak pada kehidupan sosial dan kesejahteraan kolektif. Manusia bukan sekadar roda dalam mesin produktivitas, melainkan makhluk hidup yang membutuhkan jeda untuk mempertahankan keseimbangan hidup.