Dalam konteks moderasi beragama, ajaran Islam sangat menekankan pentingnya sikap adil dan seimbang dalam berinteraksi dengan sesama manusia, apapun latar belakangnya. Salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang relevan dengan prinsip moderasi ini adalah sabda beliau: "Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan." (HR. Al-Bukhari). Hadis ini mengajarkan umat Islam untuk menghindari sikap ekstrem, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sosial, termasuk dalam beragama.
Nabi juga menegaskan pentingnya menghormati perbedaan, sebagaimana beliau memperlakukan non-Muslim dengan penuh rasa hormat dan keadilan, seperti dalam Piagam Madinah yang menjadi contoh nyata moderasi beragama. Piagam ini memuat prinsip-prinsip yang menjamin kebebasan beragama dan hak-hak warga negara yang berbeda agama untuk hidup berdampingan secara damai. Ini selaras dengan realitas Indonesia, di mana moderasi beragama menjadi fondasi utama dalam menjaga persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman yang luas.
Ajaran Nabi tentang toleransi dan hidup bersama dengan penuh keadilan ini menguatkan nilai-nilai keragaman dan keberagaman, menjadikannya landasan untuk membangun bangsa yang inklusif dan harmonis, di mana setiap warga negara dihargai tanpa memandang latar belakang agamanya.
Sejarah para sahabat Nabi dan ulama terdahulu juga memberikan teladan yang kuat dalam menjaga moderasi beragama serta toleransi terhadap keragaman. Salah satu contoh yang sangat relevan adalah kisah Umar bin Khattab, sahabat Nabi sekaligus khalifah kedua dalam Islam. Ketika Umar menaklukkan Yerusalem, ia menunjukkan sikap moderat yang luar biasa dengan memberikan jaminan keamanan kepada seluruh penduduk kota, termasuk umat Kristen dan Yahudi.Â
Hal ini tertuang dalam Perjanjian Aelia atau konvensi Umar atau Piagam Umar, sebuah dokumen yang melindungi hak-hak beragama non-Muslim. Umar bahkan menolak untuk shalat di dalam gereja Gereja Makam Suci, agar tidak ada umat Muslim di masa mendatang yang mengklaim gereja tersebut sebagai masjid. Ini menunjukkan sikap hormat Umar terhadap tempat ibadah agama lain dan merupakan contoh moderasi yang jelas.
Contoh lain adalah Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, yang dikenal sebagai ulama moderat. Beliau selalu menekankan pentingnya dialog dan toleransi dalam menghadapi perbedaan pandangan, baik dalam hal agama maupun politik. Dalam berbagai diskusi keagamaan, Abu Hanifah sering mengambil jalan tengah dan menghindari fanatisme. Sebagai contoh, meskipun beliau seorang ulama besar, Abu Hanifah memiliki hubungan yang baik dengan umat non-Muslim di Kufah, dan dikenal adil dalam urusan hukum terhadap mereka.
Kisah-kisah sahabat dan ulama ini menjadi bukti kuat bahwa moderasi beragama sudah menjadi bagian dari tradisi Islam sejak zaman Rasulullah. Sikap-sikap seperti yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan Imam Abu Hanifah memperkuat nilai-nilai keberagaman dan menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai keragaman, toleransi, dan hidup berdampingan secara damai. Dalam konteks Indonesia yang plural, teladan ini sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan beragama, guna menjaga harmoni dan memelihara persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H