Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

S1 Universitas Al-Azhar Mesir. S2 SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) LPDP Kemenag RI. (Dalam Negeri) Anggota MUI Kec. Biringkanaya. Sulawesi Selatan. Penulis buku "Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan Melalui Cahaya Shalat" dan "Warisan Kasih: Kisah, Kenangan, dan Hikmah Hadis". Prosiding : the 1st International Conference on Religion, Scripture & Scholars Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, berjudul "The Spirit of Ecology in the Hadith: Protecting Nature in Love of Religion" yang terbit pada Orbit Publishing Jakarta. Hal. 237-249. Tahun 2024. Peneliti Jurnal Ilmiah sinta 6 berjudul "Zindiq Al-Walīd bin Yazīd An Analysis of Orthodoxy and Heterodoxy in the perspective of Civil Society in the Umayyad Dynasty" yang terbit pada Journal Analytica Islamica Program Pscasarjana UIN Sumatera Utara Medan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabab Wurud Hadis Pertama tentang Niat Arba'in Nawawi

12 September 2024   14:35 Diperbarui: 12 September 2024   14:35 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://amaljariah.org/hadits-niat/

Sebagai contoh, dalam karya Al-Ifadat wal-Insyadat yang ditulis oleh Abu Ishaq Al-Syatibi, terdapat sebuah dialog menarik antara Al-Fakhr bin Al-Khatib dan Saifuddin Al-Amidi. Al-Fakhr bertanya kepada Saifuddin, "Mengapa syariat memperbolehkan penyembelihan hewan untuk kepentingan manusia, padahal hal itu menyiksa hewan dan menyakiti akal?" Saifuddin menjawab dengan bijaksana, "Menghilangkan sesuatu yang rendah demi sesuatu yang berharga adalah salah satu prinsip akal yang diterima!"

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa dalam kehidupan, pengorbanan dan tantangan sering kali diperlukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan bernilai. Dalam pandangan syariat, tindakan yang mungkin tampak berat atau menyakitkan pada pandangan pertama dapat memiliki makna dan tujuan yang jauh lebih mulia, sehingga memperkuat argumen bahwa kadang-kadang kita harus rela melepaskan hal-hal yang kurang berharga demi mencapai sesuatu yang lebih signifikan dan mulia.

Namun, di zaman kita sekarang, akal seolah telah menyimpang dari prinsip-prinsipnya yang seharusnya. Hal-hal yang berharga, yang seharusnya menjadi tujuan luhur, kini sering dijadikan sarana untuk mencapai hal-hal yang rendah, bahkan lebih rendah lagi. Banyak manusia yang mengabaikan harga diri dan kehormatan mereka, terjebak dalam perangkap hawa nafsu yang membelenggu. Dalam prosesnya, mereka membalikkan prinsip-prinsip yang seharusnya mengarahkan hidup.

Sarana yang semestinya digunakan untuk mendukung tujuan yang mulia kini justru menjadi tujuan itu sendiri. Ketidakpahaman ini menyebabkan banyak orang terjebak dalam siklus pencarian yang sia-sia, di mana mereka mengejar kepuasan instan tanpa menyadari bahwa mereka telah mengorbankan nilai-nilai fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi. Akibatnya, mereka kehilangan arah, dan tujuan hidup yang seharusnya mengantarkan mereka menuju kebahagiaan sejati dan kemuliaan, tergerus oleh keinginan yang tidak bermakna.

Di antara hal yang akan ditanyakan kepada seorang Muslim pada hari kiamat adalah: "Di mana ia menghabiskan masa mudanya?" Masa muda adalah fase kehidupan yang kaya akan kekuatan dan energi, serta merupakan saat di mana ciri-ciri kedewasaan mulai terwujud. Oleh karena itu, seharusnya para pemuda memanfaatkan waktu berharga ini untuk beribadah dalam berbagai bentuk---baik yang bersifat spiritual, perilaku, maupun kebudayaan---serta dalam upaya memenuhi peran mereka sebagai khalifah dan pelaku pembangunan.

Namun, apa yang kita saksikan di masyarakat saat ini justru menampilkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Terdapat ketergantungan yang menyakitkan terhadap pola-pola perilaku yang merusak, yang dipromosikan oleh media kepada generasi muda. Dorongan untuk bersenang-senang dan memuaskan naluri sering kali mengalihkan perhatian mereka, membuang waktu dan tenaga pada hal-hal yang tidak memberikan manfaat, baik secara umum maupun pribadi. Keyakinan yang tertanam dalam diri mereka adalah bahwa beragama hanyalah sekadar menjalankan ritual setelah memenuhi kebutuhan dan keinginan duniawi mereka.

Lebih tragis lagi, mereka menganggap bahwa rumah Allah hanyalah tempat berlindung bagi orang-orang yang telah lanjut usia, yang mencari naungan sementara menunggu datangnya hari kiamat. Pandangan semacam ini mencerminkan kurangnya pemahaman tentang hakikat kehidupan dan peran mereka di dunia. Masa muda seharusnya dimanfaatkan untuk membangun fondasi iman yang kuat, bukan sekadar menjadi penonton dalam pergelaran kehidupan yang superficial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendorong generasi muda agar mereka tidak hanya mengejar kenikmatan sesaat, tetapi juga mengarahkan perhatian mereka kepada nilai-nilai yang lebih luhur, yang akan membentuk masa depan yang lebih bermakna.

Kisah cinta yang ditampilkan dalam drama televisi adalah contoh nyata dari terbaliknya nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi. Cinta, yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih luas---yaitu membangun rumah tangga Muslim yang harmonis dan memperkuat ikatan emosional dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan---kini sering kali dipandang berbeda. Dalam pandangan masyarakat modern, cinta telah berubah menjadi pertarungan yang sengit, di mana segala sesuatu dikorbankan demi kepuasan diri.

Ironisnya, cinta yang seharusnya menyatukan dan memperkuat moral justru menjadi arena di mana egoisme merajalela. Dalam konteks ini, belati egoisme terhunus dan siap melukai, mencabik-cabik norma-norma sosial yang selama ini menjadi landasan kehidupan bermasyarakat. Ketidakpedulian terhadap nilai-nilai luhur ini tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga mengancam integritas moral masyarakat secara keseluruhan.

Pemandangan ini menggugah kita untuk merenungkan kembali makna cinta yang sebenarnya---bukan sekadar kepuasan instan, tetapi sebuah komitmen untuk saling mendukung, memahami, dan tumbuh bersama dalam bingkai nilai-nilai Islam yang luhur. Sebuah panggilan untuk kembali kepada esensi cinta yang hakiki, yang menempatkan kebahagiaan bersama dan keberlangsungan generasi yang lebih baik sebagai tujuan utama.
Dalam upaya memberikan perempuan posisi yang setara dengan laki-laki, sebagian orang memilih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya mereka emban, seperti berbuat baik kepada orang tua, menjaga silaturahmi, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Mereka terjebak dalam situasi di mana mentaati istri yang mengancam dengan perceraian, tuntutan nafkah, dan proses hukum menjadi prioritas, hingga mengabaikan nilai-nilai luhur yang seharusnya mereka junjung tinggi.

Akibatnya, kita menyaksikan munculnya berbagai kisah tentang durhaka modern, yang tidak hanya terwujud dalam ungkapan "Uf"---yang menunjukkan ketidaksenangan dalam bahasa Arab---tetapi juga meluas kepada tindakan yang jauh lebih menyakitkan. Dalam beberapa kasus, tindakan ini bahkan meliputi pembuangan orang tua ke panti jompo, yang seharusnya menjadi tempat perawatan dan kasih sayang, atau lebih tragis lagi, tindakan kekerasan yang mengakibatkan kematian mereka dengan darah dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun