Dalam khazanah keilmuan hadis, khususnya ketika kita menelaah karya monumental Imam Nawawi, Arbain Nawawiyah, kita menemukan permata yang tak ternilai pada hadis pertama yang membahas tentang niat. Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, memiliki kedalaman makna dan relevansi universal. Namun, agar pemahaman kita menjadi lebih utuh, perlu kiranya kita menyingkap aspek sababul wurud atau konteks historis di balik penyampaian hadis ini. Apa yang mendorong Rasulullah SAW mengucapkan sabdanya? Bagaimana kondisi sosial dan keagamaan saat itu? Artikel ini akan mengurai alasan kemunculan hadis ini dengan pendekatan yang mendalam, namun tetap mudah dipahami, sehingga pembaca dapat menggali esensi sejati dari pesan Rasulullah SAW.
Dalam perjalanan sejarah hijrah, terdapat sebuah kisah menarik yang diriwayatkan oleh Ibn Mas'ud radhiyallahu 'anhu, mengenai seorang pria yang berhijrah bukan karena motivasi keimanan, melainkan untuk mendapatkan seorang wanita. Pria tersebut diketahui berhijrah dengan niat untuk menikahi seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais. Karena niatnya yang khusus tersebut, masyarakat saat itu pun menjulukinya sebagai "Muhajir Ummu Qais" --- yaitu, seseorang yang berhijrah demi Ummu Qais, bukan karena panggilan agama.
Kisah ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana niat dapat mempengaruhi nilai sebuah tindakan. Rasulullah SAW melalui hadis pertama Arba'in, "Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niatnya," menekankan bahwa niat merupakan faktor esensial dalam menentukan keabsahan dan nilai suatu perbuatan. Hijrah yang merupakan kewajiban mulia, kehilangan nilai spiritualnya jika tujuan utamanya semata-mata karena urusan duniawi, seperti keinginan untuk menikahi seorang wanita.
Ath-Thabarani meriwayatkan dari Al-A'masy sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana niat mempengaruhi tindakan seseorang. Dikisahkan bahwa seorang pria melamar seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais. Namun, wanita tersebut menolak lamarannya dan menetapkan syarat bahwa pria itu harus berhijrah terlebih dahulu jika ingin menikah dengannya. Demi memenuhi syarat tersebut, pria itu pun berhijrah dan kemudian berhasil menikahi Ummu Qais. Akibat dari tindakannya ini, pria tersebut pun dikenal dengan julukan "Muhajir Ummu Qais" --- seseorang yang berhijrah bukan karena panggilan agama, tetapi demi seorang wanita.
Kisah ini semakin menegaskan makna mendalam dari hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW, bahwa segala amal tergantung pada niatnya. Hijrah yang sejatinya merupakan perbuatan yang memiliki nilai spiritual tinggi, dalam konteks ini, berubah maknanya karena niatnya berpusat pada tujuan duniawi, yakni menikahi seorang wanita. Ini menjadi pelajaran penting tentang betapa besar pengaruh niat terhadap nilai sebuah tindakan dalam pandangan agama.
Pada masa itu, hijrah bukanlah sekadar perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan sebuah ujian yang sangat berat bagi komunitas Muslim pertama. Hijrah melibatkan pengorbanan yang luar biasa---mulai dari meninggalkan harta benda, rumah, hingga keluarga tercinta. Para sahabat harus melintasi padang pasir yang panas dan tandus, antara Mekah dan Yatsrib (Madinah), menghadapi berbagai ancaman dan bahaya di sepanjang perjalanan. Semua itu mereka lakukan semata-mata untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
Namun, bayangkan jika seseorang memilih menghadapi ujian berat ini bukan karena dorongan iman atau kecintaan kepada Allah, melainkan semata-mata untuk menikahi seorang wanita. Betapa jauh niatnya dari tujuan hijrah yang hakiki! Dalam kasus seperti ini, perbuatan hijrah yang sebenarnya bernilai tinggi berubah menjadi sekadar upaya memenuhi hasrat pribadi, dan tentu hal ini merupakan suatu musibah. Orang tersebut seolah layak menerima belasungkawa, karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar dengan niat yang lebih luhur dan mulia.
Realitas kehidupan kita saat ini penuh dengan contoh-contoh "Muhajir Ummu Qais" modern---yaitu orang-orang yang bersusah payah, berjuang mati-matian, bahkan ada yang rela mengorbankan nyawa, namun semua itu demi tujuan-tujuan yang tidak berharga. Mereka melakukan upaya luar biasa demi hal-hal yang tidak memiliki nilai sejati atau manfaat besar, atau terkadang untuk perkara yang tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan. Fenomena ini menggambarkan betapa sering niat manusia terperosok dalam tujuan duniawi yang dangkal.
Di sinilah pentingnya pemahaman mendalam tentang hadis yang menekankan niat. Hadis ini tidak hanya mengarahkan kita untuk menilai setiap tindakan dengan lebih bijak, tetapi juga untuk meninggikan standar kita dalam beramal. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa setiap usaha manusia hendaknya dihubungkan dengan sistem pahala ilahi, yang nilainya jauh lebih tinggi dari sekadar pencapaian duniawi. Dalam sabda beliau yang lain, Rasulullah SAW mengingatkan: "Ketahuilah, barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, barang dagangan Allah itu adalah surga." Hadis ini mengajarkan bahwa pengorbanan dan usaha sejati harus diarahkan pada tujuan akhir yang mulia, yaitu meraih ridha Allah dan surga-Nya yang agung.
Seseorang tidak perlu mencari bukti atau saksi bahwa mengerahkan usaha dan menghadapi tantangan selalu berkaitan dengan tujuan yang tinggi atau ambisi yang besar. Orang yang bijaksana adalah mereka yang mampu menentukan tujuan yang layak untuk diupayakan, dengan mengandalkan pertimbangan akal dan bukti dari teks-teks agama. Dalam konteks ini, beberapa ulama mengangkat pemikiran tentang "mengorbankan yang rendah demi yang berharga."