Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - ASN Guru MAN 1 Kota Parepare

Universitas Al-Azhar Mesir Konsentrasi Ilmu Hadis SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Ilmu Hadis dan Tradisi Kenabian Anggota MUI Kec. Biringkanaya Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjelasan Hadis Pertama Arba'in Nawawiyah tentang Niat (Part 2)

11 September 2024   09:53 Diperbarui: 11 September 2024   10:05 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam bahasa Arab, kata "Innam" memiliki makna penting yang menunjukkan eksklusivitas atau pembatasan. Penggunaan kata ini menegaskan apa yang disebutkan dalam kalimat dan meniadakan yang lain. Hal ini terlihat jelas dalam sabda Nabi, "Innamal a'malu bi al-niyat" (Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat). 

Penjelasan sebelumnya terkait kata ini menekankan bahwa amal perbuatan seseorang sepenuhnya bergantung pada niatnya, sehingga niat menjadi dasar utama penentuan sah atau tidaknya suatu ibadah. Namun, pemahaman atas eksklusivitas kata "Innam" tidak selalu bersifat mutlak; terkadang kontekslah yang menentukan apakah pembatasan tersebut berlaku secara tegas atau dalam pengertian yang lebih terbatas. Dalam konteks niat, pembatasan ini menegaskan bahwa hanya niat yang benar dan jelas yang menjadikan amal sah. Oleh karena itu, pemahaman mendalam atas konteks sangat penting dalam menerapkan pembatasan ini, baik dalam hal ibadah maupun ketika memahami dunia sebagai sarana kebaikan.

Dan mengenai sabda Nabi: "Setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan." Al-Khattabi menjelaskan bahwa bagian ini memberikan pengertian yang berbeda dari ungkapan sebelumnya, dengan menekankan pentingnya niat dalam menentukan jenis amal yang dilakukan. Syaikh Muhyiddin An-Nawawi menambahkan bahwa bagian kedua dari hadits ini hadir untuk menggarisbawahi bahwa penentuan niat secara spesifik adalah syarat sahnya sebuah amal. 

Misalnya, seseorang yang memiliki salat yang tertinggal tidak bisa hanya berniat secara umum untuk mengganti salat yang tertinggal, tetapi harus merinci jenis salat yang akan dilakukan, seperti Zuhur, Ashar, atau yang lainnya. Jika tidak ada bagian kedua dari hadits ini, bagian pertama mungkin akan memberikan kesan bahwa niat umum sudah mencukupi tanpa harus menentukan secara rinci jenis ibadah yang dilakukan, padahal hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Dan mengenai sabda Nabi: "Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya," para ahli bahasa Arab telah menetapkan bahwa syarat dan akibat, serta subjek dan predikat, haruslah berbeda. Namun, dalam ungkapan ini tampaknya terjadi pengulangan atau persamaan. Jawaban dari hal ini adalah bahwa frasa "Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya" merujuk pada niat dan tujuan, sementara frasa "maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya" menunjukkan status dan hukum syar'i dari hijrah tersebut.

Dalam konteks kalimat bersyarat, terdapat dua elemen utama yang saling terkait, yaitu syarat dan akibat. Syarat merupakan bagian kalimat yang menetapkan kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, sementara akibat adalah hasil atau konsekuensi yang terjadi jika syarat tersebut terpenuhi. Sebagai contoh, dalam sabda Nabi "Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya," syarat yang terkandung di dalamnya adalah niat dan tujuan hijrah seseorang yang diarahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di sisi lain, akibatnya menyatakan bahwa hijrah tersebut sah dan diterima dalam pandangan syariat. Dalam kasus ini, meskipun biasanya syarat dan akibat harus berbeda dalam kalimat bersyarat, kita melihat pengulangan di mana syarat dan akibat secara kata-kata terlihat sama. Namun, masing-masing memiliki makna yang berbeda; syarat berkaitan dengan niat dan tujuan, sedangkan akibat menunjukkan hasil hukum yang diterapkan berdasarkan niat yang benar.

Selanjutnya, penting untuk memahami alasan di balik pengambilan hadis ini dan mengapa ia diriwayatkan?  Hadis ini tidak hanya menjadi pernyataan yang mendasar dalam ajaran Islam, tetapi juga memberikan pedoman yang jelas bagi umat Muslim mengenai niat dalam melakukan amal perbuatan. Diriwayatkan dalam konteks tertentu, hadis ini muncul untuk menekankan betapa pentingnya niat yang tulus dalam setiap tindakan, terutama ketika berhubungan dengan hijrah, yang merupakan langkah signifikan dalam kehidupan seorang Muslim. 

Dengan menegaskan bahwa hijrah yang sah hanya dapat dilakukan dengan niat yang benar, hadis ini mengajak umat untuk merefleksikan tujuan hidup mereka dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah demi kebaikan dan keridhaan Allah. Selain itu, hadis ini juga berfungsi sebagai pengingat bahwa segala amal perbuatan akan dinilai berdasarkan niatnya, sehingga mendorong setiap individu untuk selalu memiliki tujuan yang mulia dalam setiap tindakan yang dilakukan. Dengan demikian, pengambilan dan penyampaian hadis ini menjadi penting untuk membimbing umat dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan sesuai dengan ajaran Islam. Secara detail akan dibahas pada bagian selanjutnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun