Mohon tunggu...
Rosalia Ayuning Wulansari
Rosalia Ayuning Wulansari Mohon Tunggu... Freelancer - shinzou wa sasageyo!

Ikatlah ilmu dengan pena, torehkan melalui tinta, niscaya kau akan hidup selamanya melalui karya-karya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

International Women's Day dan Ambisi Feminisme

16 Maret 2019   14:12 Diperbarui: 31 Maret 2019   10:23 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap tanggal 8 Maret negara-negara di dunia memperingati International Women's Day (IWD). Diawali sejak tahun 1911, peringatan IWD dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain: long march, kampanye, pertunjukan seni, pameran, diskusi, ataupun aktivitas lain yang melibatkan aksi dari para perempuan. 8 Maret tersebut menjadi momentum untuk membahas berbagai isu tentang keperempuanan, mulai dari bahasan klasik tentang kesetaraan gender, langkah kontribusi kaum perempuan dalam bidang poleksoshuk, hingga problematika yang kerap dialami perempuan seperti kekerasan seksual. Namun perlu ditelusuri kembali, apa sebenarnya IWD ini? Perlukah umat muslim ikut hiruk pikuk IWD ini?

Penelitian sekitar tahun 1980-an menunjukkan bahwa mitos tentang asal-usul cerita demonstrasi wanita itu diciptakan pada 1950-an sebagai bagian dari upaya era Perang Dingin (Cold War) untuk memisahkan Hari Perempuan Internasional dari akar sosialisnya (Shalahuddin, 2019). Protes buruh wanita 8 Maret 1857 maupun peringatan ke-50 untuk penghargaan aksi buruh yang dilaksanakan 8 Maret 1907 itu pun diragukan fakta kejadiannya.

Temma Kaplan menyatakan dalam tulisannya yang dipublikasi di "Feminist Studies" (1986) dengan judul "On the Socialist Origins of International Women's Day", bahwa Kandel dan Picq menceritakan demonstrasi pekerja garmen Kota New York tahun 1857 itu adalah legenda yang dikarang pada tahun 1955. Spekulasi tentang asal-usul "legenda 1857" yang diciptakan pada tahun 1955 itu diyakini cenderung mendekati kebenaran. Motivasinya adalah untuk melepaskan International Women's Day dari sejarah Soviet. Selain itu untuk memberi kesan asal sejarah yang lebih internasional, lebih awal daripada Bolshevisme, dan terkesan lebih spontan berbanding keputusan Kongres atau inisiatif perempuan yang berafiliasi pada partai. 

Sejarawan Temma Kaplan mengkaji ulang aksi National Woman's Day yang resmi pertama kali diadakan. Ia menemukan bahwa ternyata aksi itu terjadi pada 23 Februari 1909 di New York City. Penyelenggaranya adalah anggota Partai Sosialis Amerika maka mitos tanggal 8 Maret itu direkayasa untuk mengaburkan akar sosialisme dalam gerakan perempuan.

Pada 19 Maret 1911, International Woman's Day pertama diadakan, menarik lebih dari 1 juta orang melakukan aksi unjuk rasa di seluruh dunia. Vladimir Lenin, pendiri Partai Komunis Rusia kemudian mendeklarasikan Woman's Day sebagai hari libur resmi Soviet pada tahun 1911. Menyusul kemudian komunis di Spanyol dan Cina mengadopsi liburan tersebut. Tidak lama setelah tahun 1945, terminologi "Woman's Day" bergeser menjadi "Women's Day". Pada tahun 1975, diakui sebagai International Women's Year, Majelis Umum PBB mulai merayakan 8 Maret sebagai International Women's Day . Pada 2014, lebih dari 100 negara merayakannya, dan menjadi hari libur resmi di lebih dari 25 negara.

Dari sini bisa diketahui bahwa awal mula IWD tidak dapat dipisahkan dari sosialisme.  Meskipun konsep yang diusung IWD adalah feminisme yang sarat akan pemikiran liberalisme, tidak bisa dipungkiri jika kaum sosialislah yang pertama menggagas aksinya. Kesimpangsiuran sejarah IWD juga turut menyumbangkan kebingungan kolektif tentang IWD itu sendiri. Namun yang pasti, hingga kini peringatan 8 Maret masih menjadi momen untuk membahas segala polemik perempuan.

Adapun tema untuk IWD 2019 ini adalah "Think equal, build smart, innovate for change". Melansir dari laman www.un.org, tema ini akan fokus pada cara-cara inovatif di mana kita dapat memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, khususnya di bidang sistem perlindungan sosial, akses ke layanan publik dan infrastruktur berkelanjutan. IWD 2019 ini diharapkan bisa menjadi langkah awal untuk mencari pemimpin industri, wirausahawan sosial, aktivis kesetaraan gender, dan inovator dari kaum perempuan serta menemukan cara-cara inovatif yang dapat menghilangkan hambatan dan mempercepat kemajuan untuk kesetaraan gender, mendorong investasi dalam sistem sosial yang responsif gender, dan membangun layanan dan infrastruktur yang memenuhi kebutuhan perempuan dan anak perempuan.

Ambisi yang luar biasa direpresentasikan dalam tema tersebut. Keinginan dan usaha keras untuk menjadikan perempuan sebagai sosok superior kian digaungkan pegiat feminisme. Padahal jelas, apa yang dibawa oleh feminisme tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Islam. Pemikiran feminisme justru masih jauh tertinggal dengan cara syariat memuliakan wanita. Jika feminisme menyuarakan posisi perempuan yang dapat bersaing dan menjadi lawan laki-laki, Islam justru memberikan posisi yang sejajar dan menjadi kawan laki-laki. Islam memberikan kehormatan pada perempuan dan bukan sekedar kebebasan.

Feminisme meyakini bahwa kaum perempuan merupakan bagian dari alam manusia, bukan berasal dari yang lainnya. Di dalam paham ini kaum perempuan memiliki kesetaran (equal) sama dengan laki-laki, baik itu dalam kehidupan bermasyarakat, politik, bahkan dalam semua aspek kehidupan tanpa melihat kodrat dan fitrahnya. Di beberapa pembahasan lain paham ini juga diartikan dengan istilah kesetaraan gender atau gender equality.

Alih-alih menjaga perempuan sebagaimana dalam Islam, feminisme justru membebaskan perempuan tanpa aturan. Alhasil, kasus kerasan pada perempuan justru bermunculan. Alih-alih memberi kedudukan sama rata dengan laki-laki sebagaimana yang diajarkan Rasulullah, feminisme justru membuat perempuan bersaing dan penuh ambisi hingga melupakan kodratnya.

Maka, apakah dengan menggaungkan feminisme melalui momentum International Women's Day bisa menyelesaikan segala masalah yang dialami oleh perempuan? Padahal ide yang dibawa oleh feminisme itu sendiri yang sejatinya memicu berbagai persoalan bagi perempuan. Tentunya solusi parsial yang ditawarkan para feminis tidak akan sanggup menyelesaikan kompleksitas problematika perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun